Minggu, 20 Maret 2016

PAJAK DAERAH, PBB, DAN BPHTB

PAJAK DAERAH, PBB, DAN BPHTB

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Salah satu tujuan didirikannya Negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, meningkatkan harkat dan martabat rakyat untuk menjadi manusia seutuhnya. Demikian juga Negara Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat mempunyai tujuan dalam menjalankan pemerintahannya. Pembangunan di segala bidang dilakukan untuk membentuk masyarakat adil dan makmur
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa suatu negara memerlukan beberapa unsur pendukung, salah satunya adalah tersedianya sumber penerimaan yang memadai dan dapat diandalkan. Sumber-sumber penerimaan ini sangat penting untuk menjalankan kegiatan dari masing-masing tingkat pemerintahan, karena tanpa adanya penerimaan yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan berjalan secara maksimal. Selain dari itu, dalam rangka efektifitas pelaksanaan pembangunan di segala bidang, demi tercapainya keselarasan dan keseimbangan seluruh kegiatan pembangunan, maka diperlukan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu tidak semua urusan pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, akan tetapi daerah diberikan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan untuk melaksanakan itu semua pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak daerah.

Selain pajak daerah, pemerintah juga menciptakan sistem perpajakan yang baru yaitu dengan lahirnya Undang-Undang perpajakn baru, yang salah satunya adalah UU tentang PBB dan UU mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu,bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.
BAB II
PEMBAHASAN

1.            PAJAK DAERAH
1.1.Dasar Hukum Pajak Daerah
1.      UU No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
2.      PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
3.      PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah

1.2.Asas Pajak Daerah
Sudikno Mertokusumo dalam Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa asas hukum atau prinsip hukum  bukanlah merupakan peraturan hukum  konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang dari setiap sistem hukum  yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum  positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan hukum  konkrit tersebut.
1.      Asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara (Rechtfilosofis) : Asas ini mencari dasar pembenar terhadap pengenaan pajak oleh Negara. Terdapat beberapa teori mengenai asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara, yakni :
1)      Teori Asuransi : Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi, di mana pembayar pajak (wajib pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung, sementara  itu, Negara dipersamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi.
2)      Teori Kepentingan (equivalentie) : Teori ini mengatakan bahwa Negara mengenakan pajak terhadap rakyat, karena Negara telah melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenar mengapa  Negara mengenakan pajak adalah karena Negara telah berjasa kepada rakyat selaku wajib pajak, dimana pembayaran pajak itu besarnya equivalent (setara) dengan besarnya jasa yang sudah dapat diberikan oleh Negara kepadanya.
3)      Teori kewajiban pajak mutlak : Teori ini sering juga disebut “Teori Bhakti”. Teori ini didasarkan pada organ theory dari Otto von Gierke, yang menyatakan bahwa Negara itu merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga Negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga individu tidak mungkin dapat hidup.
4)      Teori daya beli : Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat.
5)      Teori pembenaran pajak menurut Pancasila : Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada pengorbanan setiap anggota keluarga (anggota masyarakat) untuk kepentingan keluarga (bersama) tanpa mendapatkan imbalan.
2.      Asas pembagian beban pajak
Asas ini mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana agar beban pajak itu dikenakan kepada rakyat secara adil, di dalam asas ini terdapat :
1)      Teori daya pikul : Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing.
2)      Prinsip benefit (benefit principle) : Menurut asas ini pengenaan pajak seimbang dengan benefit yang diperoleh wajib pajak dari jasa-jasa publik yang di berikan oleh pemerintah. Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan prinsip benefit ini untuk mengukur aspek keadilan dalam perpajakan.
3)      Asas Pengenaan Pajak : Asas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa/pemerintah Negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tertentu.
Dalam hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu Negara, berhadapan dengan Negara lain. Mengenai hal ini dapat diterapkan :
1.      Asas Negara tempat tinggal (domisili) : Asas ini sering juga disebut asas domisili,  yakni Negara di mana seseorang bertempat tinggal tanpa memandang  kewarganegaraannya mempunyai hak yang tak terbatas untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang itu dari semua pendapatan yang diperoleh orang itu dengan tidak menghiraukan dimana pendapatan itu diperoleh.
2.      Asas Negara sumber : Asas Negara sumber yang  mendasarkan penarikan pajak pada tempat di mana sumber itu berada. Negara dimana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.
3.      Asas kebangsaan : Asas yang mendasarkan pengenaan pajak seseorang  pada status wajib pajak yang dikenakan pajak adalah semua orang yang mempunyai kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.

1.3.Pengertian Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah.
1.4.Maksud dan Tujuan Pajak Daerah
1.      Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.
Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini berarti untuk dapat ditetapkan dan dipungut pada suatu daerah provinsi, kabupaten, atau kota harus terlebih dahulu ditetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah tersebut. Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah diundangkan dalam lembaran daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah tidak dapat berlaku surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2.      Isi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
Peraturan daerah tersebut sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai :
a.       nama, objek, dan subjek pajak
b.      Dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak
c.       Wilayah pemungutan
d.      Masa pajak
e.       Penetapan pajak
f.       Tata cara pembayaran dan penagihan pajak
g.      Kedaluwarsa penagihan pajak
h.      Sanksi administrasi
i.        Tanggal mulai berlakunya pajak.
Selain ketentuan pokok tersebut, peraturan daerah tentang suatu pajak daerah dapat mengatur ketentuan mengenai beberapa hal lainnya, yaitu :
a.       pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya, yang dapat diberikan dengan mempertimbangkan antara lain kemampuan membayar wajib pajak
b.      tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa dan
c.       asas timbal balik. Sesuai dengan kelaziman internasional, pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak daerah dapat diberikan kepada korps diplomatik.

1.5.Pengawasan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
Dalam rangka pengawasan, peraturan daerah yang menetapkan pajak daerah disampaikan kepada pemerintah pusat paling lama lima belas hari setelah ditetapkan. Penetapan ini telah mempertimbangkan administrasi pengiriman peraturan daerah dari daerah yang tergolong jauh. Dalam hal ini peraturan daerah tersebut disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan.
Jika peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah yang dimaksud. Pejabat pemerintah pusat yang diberi kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah adalah Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Pembatalan peraturan daerah dilakukan paling lama satu bulan sejak diterimanya peraturan daerah yang dimaksud. Penetapan  jangka waktu satu bulan dilakukan  dengan pertimbangan untuk mengurangi dampak negatif dari pembatalan peraturan daerah tersebut.
Untuk menetapkan jenis pajak daerah, pemerintah daerah mengkaji secara cermat dasar pengenaan pajak. Kontrol sosial dari masyarakat tentunya akan turut menentukan penetapan pajak daerah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1.6.Jenis-Jenis Pajak Daerah
              Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdapat 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota.
·       Pajak Provinsi
1.      Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan sebagai berikut :
a)      untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen);
b)      untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
Sedangkan tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen). Kemudian Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
2.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
            Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
            Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a.       penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen) dan
b.      penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
Khusus untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a.       penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen); dan
b.      penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima   persen).
3.      Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
            Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi (Pasal 19 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
4.      Pajak Air Permukaan
            Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 24 Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009).
5.      Pajak Rokok
            Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok. Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
            Penerimaan pajak rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian Kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang ( Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).


·         Pajak yang Dikelola Kabupaten/Kota :
1.      Pajak Hotel
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
2.      Pajak Restoran
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,  Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
3.      Pajak Hiburan
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen). Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 45 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
4.      Pajak Reklame
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (Pasal 50 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
5.      Pajak Penerangan Jalan
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen). Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
6.      Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
7.      Pajak Parkir
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (Pasal  65 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
8.      Pajak Air Tanah
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
9.      Pajak Sarang Burung Walet
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
10.  Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
              Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
              Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (Pasal 80 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
11.  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
              Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (Pasal 88 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
1.7.Dasar Pengenaan Pajak Daerah
UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah            . Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
1.8.Subjek dan Objek Pajak Daerah
Subjek pajak daerah yang berkaitan dengan retribusi daerah
Objek Retribusi Daerah:
1)      Jasa Umum,
2)      Jasa Usaha,
3)      Perizinan tertentu.
Retribusi Jasa Umum
Retribusi yang dikenakan atas jasa umum digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum. Objek retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Jenis retribusi jasa umum adalah:
1.         Retribusi layanan Kesehatan ;
2.         Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan;
3.         Retribusi penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
4.         Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat;
5.         Retribusi pelayanan parkir di Tepi Jalan Umum;
6.         Retribusi Pelayanan Pasar;
7.         Retribusi pengujian Kendaraan Bermotor;
8.         Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9.         Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
10.     Retribusi Penyediaan dn/atau Penyedotan Kaskus;
11.     Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
12.     Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
13.     Retribusi Pelayanan Pendidikan;dan
14.     Retribusi pengendalian Menara Telekomunikasi.
Retribusi Jasa Usaha
Retribusi yang dikenanakn atas jasa usaha digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha. Objek retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi;
1.      Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal;dan/atau
2.      Pelayanan oleh pemerintah Daerah Sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
1.      Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
2.      Retribusi pasar Grosir dan/ atau pertokoan;
3.      Retribusi Tempat Pelelanggan;
4.      Retribusi Terminal;
5.      Retribusi Tempat khusus Parkir;
6.      Retribusi Tempat penginapan/pesanggrahan/Villa;
7.      Retribusi Rumah Potong Hewan;
8.      Retribusi Pelayanan Kepelabuhan;
9.      Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10.  Retribusi Penyebrangan di Air;dan
11.  Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah
Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. Objek Retribusi Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi perizinan Tertentu adalah;
1.                  Retribusi izin mendirikan bangunan;
2.                  Retribusi izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3.                  Retribusi izin Gangguan;
4.                  Retribusi izin Trayek;dan
5.                  Retribusi izin Usaha Perikanan

Subjek Retribusi Daerah
Subjek Retribusi Daerah adalah sebagai berikut:
1.      Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.
2.      Retribusi jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan
3.      Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah.

1.9.Surat-Surat yang Dibutuhkan Pajak Daerah
1)      SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAEARAH (SPTPD)
1.      Penyampaian SPTPD
Wajib pajak yang memenuhi kewajiban pembayaran pajak dengan cara dibayar sendiri wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Oleh karena itu, wajib pajak melaporkan kepada kepala daerah tentang perhitungan dan pembayaran pajak dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam peaturan daerah tentang pajak daerah dimaksud. Pada beberapa jenis pajak daerah dimungkinkan pembayaran pajak oleh wajib pajak setelah ditetapkan oleh kepala daerah. Untuk menetapkan pajak yang terutang maka kepala daerah harus memiliki data tentang objek dan subjek pajak. Untuk itu, pada beberapa peraturan daerah tentang pajak daerah, kepada wajib pajak yang penetapan pajaknya dilakukan oleh kepala daerah tetap dikenakan kewajiban melaporkan data objek dan subjek pajak dengan menggunakan SPTPD. Hanya saja pelaporan pada SPTPD ini tidak mencantumkan perhitungan pajak dan pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh wajib pajak, mengingat sebelum ditetapkan oleh kepala daerah wajib pajak belum memiliki kewajiban untuk membayar pajak terutang.
SPTPD merupakan surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. SPTPD harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya. Setelah itu, SPTPD disampaikan kepada kepala daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah, dalam jangka waktu yang ditentukan dalam peraturan daerah. Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari kerja berikutnya.
Penyampaian SPTPD dilampiri dengan keterangan atau dokumen yang ditetapkan oleh kepala daerah. SPTPD dianggap tidak disampaikan, jika tidak ditandatangani oleh wajib pajak atau penanggung pajak dan tidak dilampiri keterangan atau dokumen yang ditentukan. Wajib pajak atau penanggung pajak harus mengambil sendiri SPTPD di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh kepala daerah. Kepala Daerah menetapkan jenis pajak tertentu yang tidak diwajibkan menyampaikan SPTPD.
2.      Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPTPD
Kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan wajib pajak atau penanggung pajak, dengan alasan yang sah dan dapat diterima, dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD untuk jangka waktu tertentu. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPTPD dilakukan ketika wajib pajak ternyata tidak dapat menyampaikan SPTPD sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan karena benar-benar mengalami kesulitan pemberian jangka waktu perpanjangan penyampaian SPTPD dihitung sejak jangka waktu penyampaian SPTPD berakhir.
Alasan wajib pajak yang sah dan dapat diterima untuk pengajuan perpanjangan jangka waktu memasukkan SPTPD adalah sebagai berikut:
a.       Wajib pajak berada di luar negeri dan dapat dibuktikan oleh wajib pajak tersebut.
b.      Wajib pajak tersebut meninggal dunia sebelum dilakukan pengalihan sebagai penanggung renteng atas pajak yang terutang.
c.       Adanya sengketa dengan pihak lain yang belum mendapat keputusan pengadilan.
d.      Segala kejadian yang menimpa wajib pajak yang berada di luar kekuasaannya.
3.                  Pembetulan SPTPD
Wajib pajak atau penanggung pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan  SPTPD yang telah disampaikan. Dalam hal pembetulan SPTPD, yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, wajib pajak atau penanggung pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang bayar. Bunga dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPTPD.
4.      Sanksi bila tidak menyampaikan SPTPD
SPTPD dianggap tidak dimasukkan jika wajib pajak tidak melaksanakan atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang ada. Apabila SPTPD tidak dilaporkan atau dilaporkan tidak sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan , wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda, yang besarnya ditentukan dalam peraturan daerah. Ketentuan ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak memandang remeh kewajibannya untuk mengisi dan menyampaikan SPTPD tepat waktu sehingga proses pengenaan dan pemungutan pajak daerah dapat dilakukan sebagaimana mestinya.
2)      SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)
Berdasarkan SPTPD yang disampaikan oleh wajib pajak, kepala daerah akan melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan penetapan pajak untuk menentukan apakah kewajiban pajak yang terutang telah dilakukan sebagaimana mestinya. Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan :
1.Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB).
2.Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) dan
3.Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN).
Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada wajib pajak tertentu yang disebabakan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Ketentuan ini ditujukan kepada wajib pajak baik yang membayar sendiri pajak terutang berdasar sistem self assessment maupun yang ditetapkan oleh kepala daerah. Ketentuan penerbitan surat ketetapan pajak memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu. Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan hanya terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.
Ketentuan penerbitan surat ketetapan pajak memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu. Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Dengan demikian, penerbitan surat ketetapan pajak hanya dilakukan terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.
1.      Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB)
SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
SKPDKB diterbitkan dalam hal terjadi keadaan sebagaimana di bawah ini:
a.       apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak daerah yang terutang tidak atau kurang dibayar.
Contoh seorang wajib pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 1998. Dalam jangka waktu paling lama lima tahun, berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa SPTD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak terutang yang kurang bayar tersebut, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.
b.      apabila SPTPD tidak disampaikan kepada kepala daerah dalam jangka waktu tertentu dan telah ditegur secara tertulis. Contoh : seorang wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu wajib pajak belum juga menyampaikan SPTPD, dalam jangka waktu paling lama lima tahun kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
c.       Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan. Yang dimaksud “kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi” dapat terjadi karena dua kemungkinan yaitu SPTPD sama sekali tidak disampaikan atau SPTPD disampaikan, tetapi tidak diisi dengan benar. Pengertian penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang dilakukan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB yang  dikeluarkan karena wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD kepada kepala daerah tepat waktu atau berdasarkan hasil pemeriksaan didapati bahwa pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutang pajak. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB yang dikeluarkan karena wajib pajak tidak memenuhi kewajiban mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya sehingga pajak yang terutang dihitung secara jabatan, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebsar 25 % dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Dalam kasus ini kepala daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKBKB. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 % dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
Contohnya seorang wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD untuk masa pajak Januari tahun 2000. Setelah ditegur secara tertulis wajib pajak tersebut tidak juga memenuhi kewajiban perpajakannya, Kepala Dinas Pendapatan Daerah melakukan penetapan pajak yang terutang secara jabatan pada bulan April 2002. Berdasarkan penetapan pajak secara jabatan dihitung bahwa pajak yang terutang adalah Rp 160.000.000,- dan diketahui bahwa pembayaran pajak tahun 2000 yang telah dilakukan oleh wajib pajak adalah Rp 100.000.000,-. Berdasarkan hal ini, perhitungan SKPDKB adalah sebagai berikut:
o   Pajak daerah berdasarkan penetapan secara jabatan               Rp 160.000.000,-
o   Pembayaran pajak daerah tahun 2000                                                Rp 100.000.000,-
--------------------- -
o   Pajak kurang dibayar                                                              Rp  60.000.000,-
o   Sanksi berupa kenaikan 25% x Rp 160.000.000,-                  Rp  40.000.000,-
             ---------------------+
o   Pajak kurang dibayar                                                              Rp 100.000.000,-
o   Sanksi berupa bunga 2% x 16 x Rp 100.000.000,-                 Rp   32.000.000,-
            --------------------- +
o   Pajak yang harus dibayar                                                        Rp  132.000.000,-

2.      Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT)
SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKPDKBT diterbitkan jika ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Contoh wajib pajak yang kepadanya telah diterbitkan SKPDKB dan dalam jangka waktu paling lama lima tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKBT.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Jika wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar, yaitu dengan ditemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi kenaikan pajak tidak dikenakan apabila wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan pajak oleh fiskus.
3)      Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN)
SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Contoh terhadap wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan kepala daerah ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDN. Penerbitan SKPDN  dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bahwa pajak terutang yang dibayar dan dilaporkan oleh wajib pajak telah sesuai ketentuan peraturan daerah tentang pajak daerah dimaksud. SKPDN dikhususkan bagi wajib pajak yang membayar pajak dengan sistem self asssessment.
4)      Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)
STPD diterbitkan apabila :
a.       pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar.
b.      Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung atau
c.       Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

STPD diterbitkan baik terhadap wajib pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap wajib pajak yang melaksanakan kewajiban pajak berdasarkan penetapan oleh kepala daerah. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada wajib pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang. Sementara  itu, sanksi administrasi berupa denda dikenakan  karena tidak dipenuhinya ketentuan formal, misalnya tidak atau terlambat menyampaikan SPTPD.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD karena poin a dan b di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama lima belas bulan sejak saat terutang pajak. SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran sebesar 2% sebulan dan ditagih melalui STPD.
1.10.     Nilai Jual Objek Pajak
Nilai jual objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obek lain yang sejenis, dan atau perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.
Yang dimaksud dengan:
a.       Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/ metedo penentun nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya
b.      Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut
c.       Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut

Besarnya NJOP Ditentukan berdasarkan klasifikasi:
1.      Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan
2.      Objek Pajak Sektor Perkebunan
3.      Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusaha Hutan, Hak Pengusahaan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu Serta Izin Sah Lainnya Selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
4.      Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
5.      Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
6.      Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi
7.      Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C
8.      Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C
9.      Objek Pajak Sektor Pertambangan yang dikelola berdasrkan Kontrak Karya atau Kontrak Kerjasama
10.  Objek Pajak Usaha bidang perikanan laut
11.  Objek Pajak Usaha bidang perikanan darat
12.  Objek Pajak yang bersifat khusus
1.11.        Tarif Pajak Daerah
1.      Tarif Pajak Propinsi Maksimum
a)      Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5%
b)      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10%
c)      Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%
d)     Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20%
2.      Tarif Pajak Kabupaten/Kota Maksimum
a)      Pajak Hotel                                                                 10%
b)      Pajak Restoran                                                            10%
c)      Pajak Hiburan                                                                         35%
d)     Pajak Reklame                                                            25 %
e)      Pajak Penerangan Jalan                                               10%
f)       Pajak Parkir                                                                 20%
g)      Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C           20%
1.12.  Cara Menghitung Pajak Daerah
            Contoh Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor :
BBN KB + PKB + SWDKLLJ + B.Administrasi = Jumlah Yang Harus Dibayar
0 + 141.000 + 35.000 + 0 + 0 = 176.000
Jadi pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak kendaraan bermotor merk Revo produksi 2009 sebesar Rp 176.000
Nb :
BBN KB : bea balik nama kendaraan bermotor ( besarnya 10% dari harga motor/ harga faktur jika motor baru, 2/3 dari Pajak kendaraan bermotornya
PKB : pajak kendaraan bermotor sebesar 1,5% dari nilai jual motor dan bersifat menurun tiap tahunnya karena penyusutan nilai jual motor.
SWDKLLJ : sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas jalan, yang nantinya akan dikelola oleh pihak jasa raharja. Sumbangan tersebut senilai Rp 35.000
B. Administrasi : untuk motor baru tidak dikenakan biaya administrasi. Apabila terjadi pergantian plat nomor (5tahun sekali) atau balik nama akan dikenakan biaya administrasi. Biaya tersebut sebesar Rp 30.000,-
1.13.  Saat dan Tata Cara Mengajukan Keberatan, Banding, dan Sanksi Pajak Daerah
Tata Cara Keberatan Pajak Daerah
UU PDRD mengatur keberatan atas SKPD (surat keputusan pajak daerah). Hanya dalam hal ini SKPD bisa diterbitkan tanpa pemeriksaan. Sesuai UU PDRD (UU No. 28 tahun 2009) pasal 97, dalam jangka 5 tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan:
1.      SKPDKB (pajak daerah kurang bayar) dalam hal:
a.       jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b.      jika SPTPD (Surat pemberitahuan pajak daerah) tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
c.       jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
d.      SKPDKBT (pajak daerah kurang bayar tambahan) jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
2.      SKPDN (pajak daerah nihil) jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Ada 2 cara yang bisa dilakukan WP:
1.      Mengajukan keberatan ke Kepala daerah sesuai UU PDRD Pasal 103
a.       Sesuai UU PDRD pasal 103, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) pajak daerah kepada Kepala Daerah atau paling lambat 3 bulan sejak tanggal terbitnya SKP.
b.      Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak (UU PDRD Pasal 103 ayat 4).
c.       Sama seperti dalam UU KUP, Ada sanksi 50% atas pajak kurang bayar bila keberatan ditolak (UUPDRD Pasal 106 ayat 3) dan 100% bila banding ditolak (UUPDRD Pasal 106 ayat 5). Terdapat pula penangguhan kwajiban pembayarn pajak seperti di KUP yaitu 1 bulan sejak terbitnya putusan banding (UU PDRD pasal 105 ayat 3).
2.      Mengajukan surat permohonan ke kepala daerah sesuai UU PDRD pasal 107. Yang peraturan terkaitnya harus melihat lagi Perda masing-masing daerah.
1.14.  Tata Cara Banding Pajak Daerah
1.      Wajib Pajak mengajukan banding hanya kepada BPSP atas keberatan yang diajukannya dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal keputusan ditetapkan.
2.      Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
3.      Putusan BPSP bersifat final dan tetap.
4.      Permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
5.      Atas kelebihan pembayaran pajak diberikan imbalan bunga 2 % per bulan selama-lamanya 24 bulan dalam hal keberatan banding diterima sebagian atau seluruhnya.
1.15.  Sanksi Pajak Daerah
1.      Sanksi Administrasi
a.       Penagihan Pajak Daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah kurang bayar dikenakan sanksi 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk  jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
b.      Penagihan pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah kurang bayar tambahan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajakl. Sanksi administrasi ini tidak akan dikenakan apabila wajib pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
c.       Penagihan pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah kurang bayar dengan perhitungan secara jabatan dikenakan sanksi admenistrasi berupa kenaikan 25% dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambt dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.
d.      Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak Daerah karena pajak tidak atau kurang dibayar atau karena adanya penelitian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 15 bulan sejak saat terutang pajak.
e.       Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, dan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak Daerah.
2.      Sanksi Pidana
a.       Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan pajak daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak yang terutang.
b.      Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang.
2.      PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
2.1.      Dasar Hukum
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah undang-undang No. 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 tahun 1994.
2.2.      Asas
Asas Pajak Bumi dan Bangunan :
1.      Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2.      Adanya kepastian hukum
3.      Mudah dimengerti dan adil
4.      Menghindari pajak berganda
2.3.      Dasar Pengenaan PBB
1.      Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2.      Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
3.      Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.
4.      Besarnya Presentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
2.4.      Subjek dan Objek PBB
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
1.      Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atsa bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilik hak
2.      Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak
3.      Dalam hal atas suatu objek pajak belum jekas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
a.       Subjek pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau bangunan milik Y bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan/ menggunakan bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai wajib pajak
b.      Suatau objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib
c.       Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak.Penunjukan sebagai wajib pajak oleh Dirjen Pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak
4.      Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud
5.      Bila keterangan yang diajukan olehwajib pajak dalam no.4 disetujui, maka Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam n0.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya  surat keterangan dimaksud.
6.      Bila keterangan yang diajukan itu tidakdisetujui, maka DirekturJendral Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alas an-alasannya
7.      Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggalditerimanya keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jendral Pajaktidak memberikan keputusan,maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui
Apabila Direktur Jendral pajak tidak memberikan keputusann dalam waktu 1(satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak,maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhakmendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak
         Objek Pajak  Bumi dan Bangunan
1.      Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.
2.      Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan factor-faktor sebagai berikut:
a.       Letak.
b.      Peruntukan.
c.       Pemanfaatan.
d.      Kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan factor-faktor  sebagai berikut:
a.       Bahan yang digunakan.
b.      Rekayasa.
c.       Letak.
d.      Kondisi lingkungan dan lain-lain.
3.      Pengecualian Objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:
a.       Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan ,antara lain:
1)      Di bidang ibadah,contih: masjid,gereja,vihara.
2)      Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit.
3)      Di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren.
4)      Di bidang sosial, contoh: panti asuhan.
5)      Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi.
b.      Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
c.       Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
d.      Digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsultan berdasarkan asas perlakuan timbale balik.
e.       Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi Internasional yang  ditentukan oleh Menteri Keuangan
Catatan:
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk meemperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/ badan yang bergerak dalam bidang ibadah,sosial, kesehatan,pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai pasal 2 Undang-Undang no.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
4.      Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bnagunan adalah pajak negara yang sebagaian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan tau bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajaknnya tergantung pad perjanjian yang diadakan.
a.       Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) DItetapkan untuk masing-masing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya  Rp 12.000.000,00(dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa  Objek Pajak  yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yng nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota(pemerintah Daerah )setempat Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini:
b.      Seorang wajib pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai Rp 4.000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp 6.000.000,00. Karena NJOP berada di bawah batas NJOPTKP (Rp 6.000.000,00),maka objek pajak tersebut tidak dikenakan pajak Bumi dan Bangunan.
c.       Seorang wajib pajak mempunyai Objek pajak berupa bumi dan bangunan di desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut:
Desa A :
NJOP Bumi                                                                 Rp 13.000.000,00
NJOP Bangunan                                                                 9.000.000,00
Desa B:
NJOP Bumi                                                                 Rp 8.000.000,00
NJOP Bangunan                                                             10.000.000,00
Dan NJOPTKP untuk objeek pajak wilayah tersebut adalah Rp 10.000.000,00
Dengan data tersebut di atas ,maka NJOP untuk perhitungan PBB-nya sebagai berikut:
Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling besar, yaitu desa A. maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah:
NJOP Bumi                                                                 Rp 13.000.000,00
NJOP Bangunan                                                                9.000.000,00

NJOP sebagai dasra pengenaan PBB                                     Rp 22.000.000,00
NJOPTKP                                                                         10.000.000,00
Kemudian untuk desa B:
NJOP untuk perhitungan PBB:
NJOP Bumi                                                                 Rp   8.000.000,00
NJOP Bangunan                                                         Rp 10.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenan PBB                           Rp 18.000.000,00
NJOPTKP                                                                                         0.00
NJOP untuk Perhitungan PBB                                   Rp 18.000.000,00

2.5.      Surat-Surat yang Dibutuhkan
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
1.      Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP.
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan  SPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jendral Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat Jendral Pajak
2.      SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30(tiga puluh)hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak
Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah:
Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak sendiri.
Benar,berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanahdan atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
3.      Dirjen pajak akan menerbitkan SPPT  Berdasarkan SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT dapat diterbitkan berdasrkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jendral Pajak
4.      Dorektorat Jendral Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut:
a.       Apabila SPOP tidak  disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagimana  ditentukan dalam Surat Teguran.
b.      Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang etrutang (seharusnya)lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasrkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, Direktur Jendra Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak(SKP) secara jabatan.
Apabila berdasrkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jendral Pajak ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktur Jendral Pajak menerbitkan SKP secara jabatan
5.      Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP, dikenakan sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% dari pokok pajak.
SKP ini berdasrkan data yang ada pada Direktorat Jendral Pajak memuat penetapan objek pajak dan besarnya pajak yang terutangbeserta denda administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak.

2.6.      Mekanisme Pembayaran dan Alur Penagihan PBB
Mekanisme Pembayaran dan Penagihan PBB
1.      Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2011, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 2011.
2.      Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret 2011, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 2011.
3.      Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Menurut ketentuan ini pajak yang terhutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
SPPT tahun pajak 2011 diterima oleh wajib pajak pada tanggal 1 Maret 2011 dengan pajak terhutang sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 2011. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni:
2% x Rp 100.000,00 = Rp 2.000,00.
Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 2011adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 100.000,00 + Rp 2.000,00 =Rp102.000,00
Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 2011, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni
4% x Rp 100.000,00 = Rp 4.000,00
Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 2011 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 100.000,00 + Rp 4.000,00 =Rp104.000,00
4.      Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat no. 3, ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak (STP) oleh wajib pajak.
Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh penjelasan no. 3, ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
5.      Pajak yang terhutang dibayar diBank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6.      Tata Cara pembayaran danpenagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.
7.      Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP), dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
8.      Jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP) yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terhutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan Undang-undang  Nomor  19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
2.7.      Tarif Saat Terutang PBB
( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).
Saat PBB Terutang
Saat yang menentukan pajak bumi dan bangunan terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari dan mendapat SPPT PBB
Contoh :
a.       Objek pajak pada tanggal 1 januari 2010 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2010 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 januari 2010, yaitu keadaan ebelum bangunan tersebut terbakar
b.      Objek pada tanggal 1 januari 2010 berupa sebidang  tanah tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2010 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2010 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2010. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2011.
Tempat PBB Terutang
·         Untuk daerah Jakarta, PBB terutang di wilayah DKI Jakarta;
·         Untuk daerah lainnya, PBB terutang di wilayah Kabupaten Dati II atau Kotamadya Dati II; yang meliputi letak objek pajak
2.8.      Cara Menghitung PBB
Misal Amir memiliki tanah dan bangunan dengan rincian sbb :
 Luas tanah : 500 M2; nilai tanah : Rp90.000.000,-
 Luas bangunan : 150 M2; nilai bangunan : Rp37.500.000,

Hitung besarnya PBB atas tanah dan bangunan pak Amir tersebut apabila NJOPTKP
sebesar Rp10.000.000,-
Jawab :
Nilai tanah per M2 = 90.000.000 / 500 = Rp180.000,-
NJOP = Rp200.000,- / M2
Nilai bangunan per M2 = 37.500.000 / 150 = Rp250.000,-
NJOP = Rp225.000,- / M2

NJOP Tanah : 500 x Rp200.000,-                                  = Rp100.000.000,-
NJOP bangunan : 150 x Rp225.000,-                 = Rp 33.750.000,-
NJOP tanah dan bangunan                     = Rp133.750.000,-
NJOPTKP                                               = Rp 10.000.000,-
NJOP untuk perhitungan PBB                           = Rp123.750.000,- 

PBB = 0,5% x 20% x Rp123.750.000,-   = Rp123.750,-

2.8.Saat dan Tata Cara Mengajukan Keberatan, Banding, dan Sanksi
Sebab-sebab Pengajuan Keberatan
1.      Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terhutang pada SPPT atau SKP yang diterimanya dari Kantor Pelayanan PBB tidak sesuai dengan keadaan obyek pajak yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ada beberapa kesalahan seperti :
a.       Kesalahan pada luas obyek pajak bumi dan bangunan;
b.      Kesalahan klasifikasi obyek pajak bumi dan bangunan;
c.       Kesalahan pada penetapan/pengenaan pajak terhutang.
2.      Terdapat beda persepsi mengenai peraturan perundang-undangan pajak (PBB) antara Wajib Pajak dengan aparat pajak.
2.9.Tata Cara Pengajuan Keberatan
1.      Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak cq. Kepala Kantor Pelayanan PBB setempat, manakala besarnya pajak terhutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP yang diterima dirasakan tidak sesuai dengan keadaan obyek yang sebenarnya.
2.      Pengajuan keberatan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a.       Surat pengajuan keberatan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai dengan alasan-alasan yang jelas.
b.      Surat pengajuan keberatan harus dilampiri bukti-bukti resmi.
c.       Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP, kecuali karena kondisi force majeure.
d.      Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
e.       Keberatan atas besarnya pajak terhutang pada SPPT atau SKP harus diajukan untuk tiap-tiap obyek pajak dengan surat kebertan tersendiri pada tiap tahun pajak.
3.      Ketika mengajukan surat keberatan, Wajib Pajak harus bisa menunjukkan bukti-bukti untuk memperkuat alasan atas keberatannya. Bukti-bukti tersebut antara lain:
a.       Fotokopi KTP, Kartu Keluarga, atau identitas Wajib Pajak lainnya;
b.      Bukti kepemilikan hak atas tanah/sertifikat;
c.       Surat pengukuran tanah atau gambar rincian dari tanah yang dimaksud;
d.      Akte jual beli atau segel (akte jual beli di bawah tangan);
e.       Girik/petuk D (SPPT, SKP, SKIP-IPEDA);
f.       Surat Penunjukan Kaveling;
g.      Ijin mendirikan Bangunan (IMB);
h.      Surat keterangan Lurah/Kepala Desa
i.        Fotokopi bukti pelunasan PBB tahun sebelumnya
j.        Bukti resmi lainnya.
4.      Setelah surat keberatan itu diajukan, Wajib Pajak akan diberi tanda bukti penerimaan.
2.10.        Mekanisme Proses Penyelesaian Keberatan
1.      Setelah diterimanya surat keberatan tersebut, Kantor Pelayanan PBB akan melakukan penelitian mengenai kebenaran persyaratan yang diberikan/ditunjukkan dalam surat keberatan.
2.      Penelitian atas kebenaran bukti-bukti/persyaratan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak tersebut akan menentukan bisa diproses atau tidaknya surat keberatan tersebut.
3.      Untuk memperoleh kejelasan mengenai surat pengajuan keberatan, bila dipandang perlu Kantor Pelayanan PBB akan/dapat melakukan peninjauan langsung atas obyek pajaknya di lapangan. Sebelum dilakukan peninjauan di tempat obyek pajak, terlebih dahulu dikirimkan surat pemberitahuan kepada wajib pajak/pemohon mengenai akan adanya peninjauan tersebut.
4.      Keputusan atas permohonan keberatan wajib pajak dapat berupa diterima seluruhnya, diterima sebagian, atau ditolak.
5.      Kantor Pelayanan PBB sebagai pihak yang menerima pengajuan surat keberatan akan memproses penyelesaian keberatan tersebut dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat keberatan.
6.      Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut lewat dan Kepala Kantor Pelayanan PBB belum juga atau tidak memberikan keputusan keberatan, maka pengajuan keberatan wajib pajak itu dianggap diterima. Kemudian wajib pajak berkewajiban membayar pajak terhutang menurut ketentuan data/bukti-bukti yang sebenarnya, seperti yang ditunjukkan dalam surat pengajuan keberatan.
2.11.        Tata Cara Banding PBB
1.      Wajib Pajak dapat mengajukan permasalahan keberatannya ke tingkat banding, yaitu ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) di Jakarta.
2.      Banding tersebut dapat dilakukan dalam hal pengajuan keberatannya ditolak oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB mengenai besarnya pajak terhutang pada SPPT dan atau SKP, karena data obyek tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau karena adanya perbedaan penafsiran peraturan-perundangan antara wajib pajak dengan aparat pajak.
3.      Pengajuan banding dapat juga diajukan karena subyek pajak tidak bersedia menjadi wajib pajak atas penunjukan Direktur Jenderal Pajak, meskipun subyek pajak sudah memberikan keterangan, namun keterangan itu tetap ditolak oleh Jenderal Pajak.
4.      Pengajuan banding oleh wajib pajak di alamatkan langsung kepada Ketua BPSP Pajak di Jakarta.
5.      Keputusan banding yang diberikan Majelis Pertimbangan Pajak berlaku mengikat serta mempunyai kepastian dan kekuatan hukum baik terhadap Direktorat Jenderal Pajak maupun terhadap wajib pajak.
2.12.        Sanksi PBB
1.      Sanksi Administrasi
a.    Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak walaupun sudah ditegor secara tertulis, dikenakan denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak.
b.   Wajib Pajak yang melaporkan data obyek pajak tidak benar (lebih kecil dari hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak), dikenakan denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terhutang.
c.    Pajak terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, akan dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
2.      Sanksi Pidana
a.       Wajib pajak yang tidak mengembalikan SPOP atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugian negara, maka akan dikenakan sanksi administrasi dan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terhutang;
b.      Wajib pajak yang dengan sengaja :
1)      tidak mengembalikan atau menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak;
2)      menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
3)      memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen dipalsukan seolah-olah benar;
4)      tidak memperlihatkan data atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
5)      tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan; sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, akan dikenakan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang.
c.       Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua, apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
1.      BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1.1.      Dasar Hukum
Dasar Hukum Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan adalah :
1.      Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Peolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.Undang-Undang ini menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staadsblad 1924 Nomor 291
2.      Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan hibah.
3.      Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan.
4.      Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.
Pengertian-Pengertian
1.      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB selanjutnya disebut pajak.
2.      Perolehanhak atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.      Hak atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
3.2.   Dasar Pengenaan BPHTB
Yang menjadi dasra pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).
NPOP ditentukan sebesar :
1.      Harga transaksi, dalam hal : jual beli.
2.      Nilai pasar objek pajak dalam hal : tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisah hak yang mengakibatkan peralihan hak, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah.
3.      Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, dalam hal : penunjukan pembeli dalam lelang.
4.      NJOP PBB, apabila besarnya NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak diketahui atau NPOP lebih rendah daripada NJOP PBB.
3.3.   Subjek dan Objek BPHTB
Subjek BPHTB
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak BPHTB menurut Undang-Undang BPHTB.
Objek BPHTB
Objek BPHTB adalah perolehan ha katas tanah dan atau bangunan. Perolehan ha katas tanah dan atau bangunan meliputi:
1.      Pemindahan hak karena:
a.       Jual-Beli;
b.      Tukar-menukar;
c.       Hibah;
d.      Hibah Wasiat;
e.       Waris;
f.       Pemasukan dalamperseroan atau badan hukum lainnya;
g.      Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
h.      Penunjukan pembelian dalam lelang;
i.        Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai ekuatan hokum tetap;
j.        Penggabungan usaha;
k.      Peleburan Usaha;
l.        Pemekaran usaha;
m.    Hadiah
2.      Pemberian hak baru karena:
a.       Kelanjutan pelepasan hak;
b.      Di luar pelepasan hak
Tidak Termasuk Objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
1.      Perwakilan Diplomatik, konsultan berdasarkan asas berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
2.      Negara untuk penyelenggaraaan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
3.      Badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;
4.      Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena pembuatan hokum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
5.      Orang pribadi atau badan karena wakaf;
6.      Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan Ibadah

1.2.      Surat-Surat yang Dibutuhkan
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
Penerbitan SKBKB
SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak
Sanksi SKBKB
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi admnistrasi berupa bunga sebesar 2%  sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak samapi dengan diterbitkannya SKBKB.
Contoh:
Tuan Adi memperoleh tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Sukamaju pada tanggal 29 Maret 2010 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 240.000.000,00. Nilai Perolehan Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga  sedrah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten Sukamaju sebesar Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak                                                   Rp 240.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak                             60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak                                Rp 180.000.000,00
 BPHTB yang terutang= Rp 180.000.000,00 x 5%
                                    = Rp 9.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan ,ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan bahwa Nilai Peolehan Pajak Sebenarnya adalah Rp 310.000.000,00. Oleh karena itu diterbitkan SKBKB pada tanggal 30 Desember 2010. Besarnya BPHTB yang terutang adalah sebagai berikut:

Nilai Perolehan Objek Pajak                                                   Rp 310.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak                              60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak                                Rp 250.000.000,00

BPHTB yang seharusnya terutang      =          Rp 250.000.000,00 x 5%
=          Rp 12.500.000,00
BPHTB yang telah dibayar                                          9.000.000,00
BPHTB yang kurang dibayar                           Rp     35.000.000,00

Sanksi administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2010 sampai dengan 30 Desember 2010= 10 bulan x  2% X Rp 3.500.000,00 = Rp 700.000,00
Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB=
Rp 3.500.000,00 + Rp 700.000,00 = Rp 4.200.000,00

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT
SKBKBT adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan
Penerbitan SKBKBT
SKBKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang seteklah diterbitkannya SKBKB.
SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak.
Sanksi SKBKBT
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Contoh(Berdasarkan data pada contoh sebelumnya)
 Pada tahun 2010, dari hasil pmeriksaan atau keterangan lain diperoleh data baru Nilai Perolehan Objek Pajak ternyata adalah Rp 360.000.000,00, maka BPHTB yang terutang adalah sebagai berikut:
Nilai Perolehan Objek Pajak                                                   Rp 360.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak                             60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak                                Rp 300.000.000,00
BPHTB yang seharusnya terutang      =          Rp 300.000.000,00 X 5%
=          Rp 15.000.000,00
BPHTB yang telah dibayar                                                              12.500.000,00
BPHTB yang kurang bayar                                                                 2.500.000,00

Sanksi administrasi kenaikan= 100% X Rp 2.500.000,00 = Rp 2.500.000,00 Jadi jumlah yang harus dibayar menurut SKBKBT=
Rp 2.500.000,00 + Rp 2.500.000,00 = Rp 5.000.000,00

Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (STB)
STB adalah surat melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda
Penerbitan SBT
STB diterbitkan apabila:
a.       Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
b.      Dari hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB) terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung.
c.       Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda
Sanksi STB
Jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana dimaksud dalam poin 2a dan 2b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%(dua persen)sebulan untuk jangka waktu paling lama 24(dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan untuk poin 2c tidak ditambahkan sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi.
Kekuatan Hukum STB
STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa
1.3.      Mekanisme Pembayaran dan Alur Penagihan
Mekanisme Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan :
1.      Pada saat terjadi perolehan hak karena pemindahan hak atau pemberian hak. Maka wajib pajak (WP) wajib membayar BPHTB (apabila memenuhi syarat untuk dikenakan BPHTB)
2.      Wajib pajak meminta formulir Surat Setoran BPHTB (SSB) yang dapat diperoleh di kantor Notaris, KPP Pratama, Kantor Lelang, Kantor Pertanahan, atau tempat pembayaran BPHTB
3.      Setelah Surat Setoran BPHTB (SSB) diisi, maka wajib pajak menyetorkan BPHTBnya melalui Bank persepsi (tempat pembayaran BPHTB, antara lain: BNI, BRI, Mandiri dan bank lain yang melayani pembayaran BPHTB). Selain itu juga dapat langsung disetorkan ke Bank Operasional
4.      Setelah SSB divalidasi Bank tempat pembayaran, maka SSB lembar ke 1, 3 dan 5 diberikan kepada wajib pajak. SSB lembar ke 4 diarsipkan ke Bank tersebut, SSB lembar ke 2 disampaikan kepada KPP Pratama disertai Bukti Penerimaan Negara (BPN) melalui Bank Operasional
Mekanisme Pelaporan  Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan :
1.      Setelah SSB lembar ke 1, 3 dan 5 mendapat validasi dari Bank pembayaran maka wajib pajak datang ke Notaris untuk meminta legalisasi berupa stempel dan tanda tangan Notaris. SSB lembar 5 menjadi arsip Notaris
2.      Wajib pajak melaporkan pembayaran BPHTB kepada KPP Pratama setelah mendapat legalisasi dari Notaris dengan menyerahkan SSB lembar ke 1, 3 dan copy lembar ke 5
3.      Bank persepsi melimpahkan penerimaan pembayaran BPHTB kepada Bank Operasional SSB lembar ke 2.
4.      KPP Pratama akan :
a.       Mengeccek penerimaan pembayaran BPHTB melalui akses Nomor Transaksi Penerimaan  Negara (NTPN) yang tertera pada SSB dengan akses secara online
b.      Meneliti kebenaran data SSB (nilai NPOP, NPOPTKP, perhitungan matematis, dsb)
c.       Setelah diteliti dan data yang dilaporkan adalah benar, maka KPP Pratama akan memberikan validasi
5.      SSB lembar ke 1 dan copy lembar ke 5 dikembalikan kepada wajib pajak, sedangkan SSB lembar ke 3 diarsip oleh KPP Pratama beserta SSB lembar ke 2 yang diterima dari Bank Operasional

1.4.      Mekanisme Pembayaran dan Alur Penagihan BPHTB
Mekanisme Penagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan :
Apabila :
1.      Pajak terutang tidak/kurang dibayar
2.      Dari pemeriksaan, SSB kurang bayar
3.      WP kena Sanksi administrasi berupa denda/bunga
DJP menerbitkan Surat Tagihan BPHBT (STB) ditambah sanksi Bunga 2%/bln maksimum 24 bulan
Dasar Penagihan BPHTB :
SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan, SK Pengurangan, SK Keberatan, Putusan Banding yg menyebabkan pajak bertambah à Harus dilunasi dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterima WP, lewat waktu dapat ditagih dengan Surat Paksa

3.7.      Tarif dan Saat Terutangnya BPHTB
Tarif BPHTB adalah 5% (lima persen).
Saat terutang BPHTB
a.       jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;
b.      tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c.       hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d.      waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e.       pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
f.       pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g.      lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang.
h.      putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i.        hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j.        pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k.      pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l.        penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
m.    peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
n.      pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
o.      hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
Tempat Terutang BPHTB
Tempat BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
3.8.   Cara Menghitung BPHTB
Rounded Rectangle: BPHTB	= Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak x Tarif
	            = (NPOP – NPOPTKP) x 5 %
 


Contoh:
Tuan Hasan membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 70.000.000,00. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di Kabupaten/Kota tersebut Rp 60.000.000,00.
Penyelesaian:
Nilai Perolehan Objek Pajak                                                     Rp 70.000.000,00
dikurangi,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak                       Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak                                 Rp 10.000.000,00
Jadi, BPHTB yang terutang = Rp 10.000.000,00 x 5 %
                                             = Rp 500.000,00

3.9.      Saat dan Tata Cara Mengajukan Keberatan, Banding, dan Sanksi
Tata Cara Keberatan BPHTB
1.      Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas : SKBKB, SKBKBT, SKBLB dan SKBN.
2.      Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terhutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan -alasan yang jelas.
3.      Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan, kecuall apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
4.      Keberatan yang tidak memenuhi syarat tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
5.      Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
6.      Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan Pajak.
7.      Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
8.      Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
9.      Sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
10.  Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang .
11.  Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dimuka telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
3.10.  Tata Cara Banding BPHTB
1.      Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
2.      Permohonan Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
3.      Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
3.11.  Sanksi BPHTB
Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau data yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari kekurangan pajak tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan pemeriksaan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pajak daerah, PBB, BPHTB merupakan pajak yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan sepatutnya dipatuhi oleh seluruh warga Indonesia. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdapat 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota.
Selain itu pemerintah juga menciptakan sistem perpajakan yang baru yaitu dengan lahirnya Undang-Undang perpajakn baru, yang salah satunya adalah UU tentang PBB dan UU mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar