BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Salah satu tujuan didirikannya Negara adalah
untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, meningkatkan harkat dan martabat
rakyat untuk menjadi manusia seutuhnya. Demikian juga Negara Republik Indonesia
sebagai negara merdeka dan berdaulat mempunyai tujuan dalam menjalankan
pemerintahannya. Pembangunan di segala bidang dilakukan untuk membentuk
masyarakat adil dan makmur
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam melaksanakan
tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa suatu negara memerlukan beberapa
unsur pendukung, salah satunya adalah tersedianya sumber penerimaan yang
memadai dan dapat diandalkan. Sumber-sumber penerimaan ini sangat penting untuk
menjalankan kegiatan dari masing-masing tingkat pemerintahan, karena tanpa
adanya penerimaan yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan
berjalan secara maksimal. Selain dari itu, dalam rangka efektifitas pelaksanaan
pembangunan di segala bidang, demi tercapainya keselarasan dan keseimbangan
seluruh kegiatan pembangunan, maka diperlukan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu tidak semua urusan
pemerintahan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, akan tetapi daerah diberikan
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan untuk melaksanakan itu
semua pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak
daerah.
Selain pajak daerah, pemerintah juga menciptakan
sistem perpajakan yang baru yaitu dengan lahirnya Undang-Undang perpajakn baru,
yang salah satunya adalah UU tentang PBB dan UU mengenai Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan. Sesuai dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping memenuhi kebutuhan dasar
untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat
menguntungkan. Di samping itu,bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi
pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PAJAK DAERAH
1.1.Dasar Hukum Pajak
Daerah
1.
UU No. 34 Tahun 2000
yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
2.
PP No. 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah
3.
PP No. 66 Tahun 2001
tentang Retribusi Daerah
1.2.Asas
Pajak Daerah
Sudikno Mertokusumo dalam Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa
asas hukum atau prinsip hukum bukanlah
merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar
yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit
yang terdapat dalam dan di belakang dari setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan
hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum
dalam peraturan hukum konkrit tersebut.
1.
Asas
pembenaran pemungutan pajak oleh Negara (Rechtfilosofis) : Asas ini
mencari dasar pembenar terhadap pengenaan pajak oleh Negara. Terdapat beberapa
teori mengenai asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara, yakni :
1)
Teori
Asuransi : Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi
yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas
hak-haknya dari pemerintah. Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi,
di mana pembayar pajak (wajib pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi,
yakni pihak tertanggung, sementara itu, Negara dipersamakan dengan
pihak penanggung dalam perjanjian asuransi.
2)
Teori
Kepentingan (equivalentie) : Teori ini mengatakan bahwa Negara
mengenakan pajak terhadap rakyat, karena Negara telah melindungi kepentingan
rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan
wajib pajak yang dilindungi. Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenar
mengapa Negara mengenakan pajak adalah karena Negara telah berjasa
kepada rakyat selaku wajib pajak, dimana pembayaran pajak itu besarnya equivalent (setara)
dengan besarnya jasa yang sudah dapat diberikan oleh Negara kepadanya.
3)
Teori
kewajiban pajak mutlak : Teori ini sering juga disebut “Teori Bhakti”. Teori
ini didasarkan pada organ theory dari Otto von Gierke, yang menyatakan bahwa
Negara itu merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga Negara
terikat. Tanpa ada organ atau lembaga individu tidak mungkin dapat hidup.
4)
Teori
daya beli : Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot
daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada
masyarakat.
5)
Teori
pembenaran pajak menurut Pancasila : Pancasila mengandung sifat kekeluargaan
dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada pengorbanan
setiap anggota keluarga (anggota masyarakat) untuk kepentingan keluarga (bersama) tanpa mendapatkan imbalan.
2.
Asas pembagian beban
pajak
Asas
ini mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana agar beban pajak itu dikenakan
kepada rakyat secara adil, di dalam asas ini terdapat :
1)
Teori
daya pikul : Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan
daya pikul masing-masing.
2)
Prinsip
benefit (benefit principle) : Menurut asas ini pengenaan pajak
seimbang dengan benefit yang diperoleh wajib pajak dari jasa-jasa publik yang
di berikan oleh pemerintah. Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan prinsip benefit
ini untuk mengukur aspek keadilan dalam perpajakan.
3)
Asas
Pengenaan Pajak : Asas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan
siapa/pemerintah Negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu
sasaran pajak tertentu.
Dalam hal ini
pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu Negara, berhadapan dengan Negara
lain. Mengenai hal ini dapat diterapkan :
1.
Asas Negara tempat tinggal (domisili) : Asas
ini sering juga disebut asas domisili, yakni Negara di mana seseorang bertempat tinggal tanpa
memandang kewarganegaraannya mempunyai hak yang tak terbatas untuk
mengenakan pajak terhadap orang-orang itu dari semua pendapatan yang diperoleh
orang itu dengan tidak menghiraukan dimana pendapatan itu diperoleh.
2. Asas Negara sumber : Asas Negara sumber yang mendasarkan penarikan
pajak pada tempat di mana
sumber itu berada. Negara dimana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk
mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.
3. Asas kebangsaan : Asas yang mendasarkan pengenaan pajak
seseorang pada status wajib pajak yang dikenakan pajak adalah semua
orang yang mempunyai kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat
tinggalnya.
1.3.Pengertian Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan
Daerah.
1.4.Maksud dan Tujuan Pajak Daerah
1.
Peraturan
Daerah tentang Pajak Daerah.
Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 mengatur dengan jelas
bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus
ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini berarti untuk dapat ditetapkan dan
dipungut pada suatu daerah provinsi, kabupaten, atau kota harus terlebih dahulu
ditetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah tersebut. Peraturan daerah
tentang suatu pajak daerah diundangkan dalam lembaran daerah yang bersangkutan.
Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah tidak dapat berlaku surut dan tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
2.
Isi
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
Peraturan
daerah tersebut sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai :
a.
nama, objek, dan subjek
pajak
b.
Dasar
pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak
c.
Wilayah pemungutan
d.
Masa pajak
e.
Penetapan pajak
f.
Tata
cara pembayaran dan penagihan pajak
g.
Kedaluwarsa penagihan
pajak
h.
Sanksi administrasi
i.
Tanggal mulai
berlakunya pajak.
Selain ketentuan pokok tersebut,
peraturan daerah tentang suatu pajak daerah dapat mengatur ketentuan mengenai
beberapa hal lainnya, yaitu :
a.
pemberian pengurangan,
keringanan dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau
sanksinya, yang dapat diberikan dengan mempertimbangkan antara lain kemampuan
membayar wajib pajak
b.
tata
cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa dan
c.
asas
timbal balik. Sesuai dengan kelaziman internasional, pengurangan, keringanan
dan pembebasan pajak daerah dapat diberikan kepada korps diplomatik.
1.5.Pengawasan
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
Dalam
rangka pengawasan, peraturan daerah yang menetapkan pajak daerah disampaikan
kepada pemerintah pusat paling lama lima belas hari setelah ditetapkan. Penetapan ini telah
mempertimbangkan administrasi pengiriman peraturan daerah dari daerah yang
tergolong jauh. Dalam hal ini
peraturan daerah tersebut disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan.
Jika peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat
membatalkan peraturan daerah yang dimaksud. Pejabat pemerintah pusat yang
diberi kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah adalah Menteri Dalam
Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Pembatalan
peraturan daerah dilakukan paling lama satu bulan sejak diterimanya peraturan
daerah yang dimaksud. Penetapan jangka
waktu satu bulan dilakukan dengan
pertimbangan untuk mengurangi dampak negatif dari pembatalan peraturan daerah
tersebut.
Untuk menetapkan jenis pajak daerah, pemerintah daerah
mengkaji secara cermat dasar pengenaan pajak. Kontrol sosial dari masyarakat
tentunya akan turut menentukan penetapan pajak daerah yang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
1.6.Jenis-Jenis
Pajak Daerah
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdapat 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11
(sebelas) jenis pajak kabupaten/kota.
· Pajak
Provinsi
1.
Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor
adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua
jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau
peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk
alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan
motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang
dioperasikan di air (Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009).
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi
menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah ditetapkan sebagai berikut :
a) untuk kepemilikan kendaraan bermotor
pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2%
(dua persen);
b) untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua
dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2%
(dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
Sedangkan tarif Pajak Kendaraan Bermotor
angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial
dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol
koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen). Kemudian Tarif
Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling
rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol
koma dua persen).
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan
bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau
keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau
pemasukan ke dalam badan usaha (Pasal 1
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tarif Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a.
penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen) dan
b.
penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).
Khusus untuk kendaraan bermotor alat-alat
berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak
ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut :
a. penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma
tujuh puluh lima persen); dan
b. penyerahan kedua dan seterusnya sebesar
0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar
kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah semua
jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Khusus
tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum
dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi (Pasal 19
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
4.
Pajak Air
Permukaan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau
pemanfaatan air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada
permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di
darat. Tarif
Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 24
Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009).
5.
Pajak Rokok
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut
oleh Pemerintah. Tarif
Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai
rokok. Pajak
Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
Penerimaan pajak rokok, baik bagian Provinsi maupun bagian
Kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan
kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang ( Pasal 31
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
·
Pajak yang
Dikelola Kabupaten/Kota :
1.
Pajak Hotel
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
retribusi Daerah, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh
hotel. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk
jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen,
gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan
sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi
sebesar 10% (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
2. Pajak Restoran
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan
yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan
dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan,
kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Tarif
Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009).
3.
Pajak
Hiburan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan
Retribusi Daerah, Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan,
permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Tarif
Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik,
karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa,
tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen). Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak
Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (Pasal 45 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009).
4.
Pajak
Reklame
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang,
atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati
oleh umum.
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (Pasal 50
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
5.
Pajak
Penerangan Jalan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga
listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Penggunaan tenaga listrik dari
sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak
Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen). Penggunaan
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan
paling tinggi sebesar 1,5% (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi
untuk dimanfaatkan. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral
bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan
perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. Tarif
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25%
(Pasal 60 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
7.
Pajak
Parkir
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir
di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun
yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor. Parkir
adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Tarif
Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% (Pasal 65 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
8. Pajak Air Tanah
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak
Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau
batuan di bawah permukaan tanah. Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (Pasal 70
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
9.
Pajak
Sarang Burung Walet
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Burung walet adalah satwa
yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga,
collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan
paling tinggi sebesar 10% (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan,
perhutanan, dan pertambangan.
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman
dan/atau laut. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009).
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Perolehan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi
atau Badan. Tarif
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5%
(Pasal 88 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
1.7.Dasar
Pengenaan Pajak Daerah
UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah . Pada
tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah
menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang
undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis
dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena
terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali
hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.
1.8.Subjek dan Objek Pajak Daerah
Subjek
pajak daerah yang berkaitan dengan retribusi daerah
Objek
Retribusi Daerah:
1)
Jasa Umum,
2)
Jasa Usaha,
3)
Perizinan tertentu.
Retribusi
Jasa Umum
Retribusi yang dikenakan atas jasa umum digolongkan
sebagai Retribusi Jasa Umum. Objek retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang
disediakan atau diberikan pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Jenis
retribusi jasa umum adalah:
1.
Retribusi layanan
Kesehatan ;
2.
Retribusi pelayanan
persampahan/kebersihan;
3.
Retribusi
penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
4.
Retribusi
pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat;
5.
Retribusi
pelayanan parkir di Tepi Jalan Umum;
6.
Retribusi Pelayanan
Pasar;
7.
Retribusi pengujian
Kendaraan Bermotor;
8.
Retribusi
Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9.
Retribusi Penggantian
Biaya Cetak Peta;
10.
Retribusi Penyediaan
dn/atau Penyedotan Kaskus;
11.
Retribusi Pengolahan
Limbah Cair;
12.
Retribusi
Pelayanan Tera/Tera Ulang;
13.
Retribusi Pelayanan
Pendidikan;dan
14.
Retribusi pengendalian
Menara Telekomunikasi.
Retribusi
Jasa Usaha
Retribusi yang dikenanakn atas jasa
usaha digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha. Objek retribusi Jasa Usaha
adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip
komersial yang meliputi;
1.
Pelayanan
dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara
optimal;dan/atau
2.
Pelayanan
oleh pemerintah Daerah Sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak
swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah:
1.
Retribusi Pemakaian
Kekayaan Daerah;
2.
Retribusi pasar Grosir
dan/ atau pertokoan;
3.
Retribusi Tempat
Pelelanggan;
4.
Retribusi Terminal;
5.
Retribusi Tempat khusus
Parkir;
6.
Retribusi
Tempat penginapan/pesanggrahan/Villa;
7.
Retribusi Rumah Potong
Hewan;
8.
Retribusi Pelayanan
Kepelabuhan;
9.
Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10. Retribusi
Penyebrangan di Air;dan
11. Retribusi
Penjualan Produk Usaha Daerah
Retribusi
Perizinan Tertentu
Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu
digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. Objek Retribusi Tertentu
adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi
atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan. Jenis retribusi perizinan Tertentu
adalah;
1.
Retribusi izin
mendirikan bangunan;
2.
Retribusi
izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3.
Retribusi izin
Gangguan;
4.
Retribusi izin
Trayek;dan
5.
Retribusi izin Usaha
Perikanan
Subjek
Retribusi Daerah
Subjek Retribusi Daerah adalah sebagai
berikut:
1.
Retribusi
Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan
jasa umum yang bersangkutan.
2.
Retribusi
jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan
jasa usaha yang bersangkutan
3.
Retribusi
Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin
tertentu dari Pemerintah Daerah.
1.9.Surat-Surat yang Dibutuhkan
Pajak Daerah
1)
SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAEARAH (SPTPD)
1.
Penyampaian SPTPD
Wajib pajak yang
memenuhi kewajiban pembayaran pajak dengan cara dibayar sendiri wajib
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang dengan menggunakan SPTPD. Oleh karena itu, wajib pajak melaporkan
kepada kepala daerah tentang perhitungan dan pembayaran pajak dalam jangka
waktu tertentu yang ditetapkan dalam peaturan daerah tentang pajak daerah
dimaksud. Pada beberapa jenis pajak daerah dimungkinkan pembayaran pajak oleh
wajib pajak setelah ditetapkan oleh kepala daerah. Untuk menetapkan pajak yang
terutang maka kepala daerah harus memiliki data tentang objek dan subjek pajak.
Untuk itu, pada beberapa peraturan daerah tentang pajak daerah, kepada wajib
pajak yang penetapan pajaknya dilakukan oleh kepala daerah tetap dikenakan
kewajiban melaporkan data objek dan subjek pajak dengan menggunakan SPTPD.
Hanya saja pelaporan pada SPTPD ini tidak mencantumkan perhitungan pajak dan
pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh wajib pajak, mengingat sebelum
ditetapkan oleh kepala daerah wajib pajak belum memiliki kewajiban untuk
membayar pajak terutang.
SPTPD merupakan
surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan atau
pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan
kewajiban menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. SPTPD harus
diisi dengan jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau
kuasanya. Setelah itu, SPTPD disampaikan kepada kepala daerah melalui Dinas
Pendapatan Daerah, dalam jangka waktu yang ditentukan dalam peraturan daerah.
Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, batas waktu
penyampaian SPTPD jatuh pada hari kerja berikutnya.
Penyampaian SPTPD
dilampiri dengan keterangan atau dokumen yang ditetapkan oleh kepala daerah.
SPTPD dianggap tidak disampaikan, jika tidak ditandatangani oleh wajib pajak
atau penanggung pajak dan tidak dilampiri keterangan atau dokumen yang
ditentukan. Wajib pajak atau penanggung pajak harus mengambil sendiri SPTPD di
Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh kepala
daerah. Kepala Daerah menetapkan jenis pajak tertentu yang tidak diwajibkan
menyampaikan SPTPD.
2.
Perpanjangan
Jangka Waktu Penyampaian SPTPD
Kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk
atas permohonan wajib pajak atau penanggung pajak, dengan alasan yang sah dan
dapat diterima, dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD untuk jangka
waktu tertentu. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPTPD dilakukan ketika
wajib pajak ternyata tidak dapat menyampaikan SPTPD sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan karena benar-benar mengalami kesulitan pemberian jangka waktu
perpanjangan penyampaian SPTPD dihitung sejak jangka waktu penyampaian SPTPD
berakhir.
Alasan wajib pajak yang sah dan dapat
diterima untuk pengajuan perpanjangan jangka waktu memasukkan SPTPD adalah
sebagai berikut:
a.
Wajib
pajak berada di luar negeri dan dapat dibuktikan oleh wajib pajak tersebut.
b.
Wajib
pajak tersebut meninggal dunia sebelum dilakukan pengalihan sebagai penanggung
renteng atas pajak yang terutang.
c.
Adanya
sengketa dengan pihak lain yang belum mendapat keputusan pengadilan.
d.
Segala
kejadian yang menimpa wajib pajak yang berada di luar kekuasaannya.
3.
Pembetulan
SPTPD
Wajib pajak atau penanggung pajak dengan
kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD
yang telah disampaikan. Dalam hal pembetulan SPTPD, yang mengakibatkan utang
pajak menjadi lebih besar, wajib pajak atau penanggung pajak dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang
bayar. Bunga dihitung
sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran
karena pembetulan SPTPD.
4.
Sanksi bila tidak menyampaikan SPTPD
SPTPD dianggap
tidak dimasukkan jika wajib pajak tidak melaksanakan atau tidak sepenuhnya
melaksanakan ketentuan yang ada. Apabila SPTPD tidak dilaporkan atau dilaporkan
tidak sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan , wajib pajak akan
dikenakan sanksi administrasi berupa denda, yang besarnya ditentukan dalam
peraturan daerah. Ketentuan ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak memandang
remeh kewajibannya untuk mengisi dan menyampaikan SPTPD tepat waktu sehingga
proses pengenaan dan pemungutan pajak daerah dapat dilakukan sebagaimana
mestinya.
2)
SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)
Berdasarkan
SPTPD yang disampaikan oleh wajib pajak, kepala daerah akan melakukan
pemeriksaan dan mengeluarkan penetapan pajak untuk menentukan apakah kewajiban
pajak yang terutang telah dilakukan sebagaimana mestinya. Dalam jangka waktu
lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan :
1.Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB).
2.Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
(SKPDKBT) dan
3.Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN).
Penerbitan surat
ketetapan pajak ditujukan kepada wajib pajak tertentu yang disebabakan oleh
ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal yang
tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Ketentuan ini ditujukan kepada wajib pajak
baik yang membayar sendiri pajak terutang berdasar sistem self assessment maupun yang ditetapkan oleh kepala daerah.
Ketentuan penerbitan surat ketetapan pajak memberikan kewenangan kepada kepala
daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap
kasus-kasus tertentu. Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan hanya
terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.
Ketentuan
penerbitan surat ketetapan pajak memberikan kewenangan kepada kepala daerah
untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus
tertentu. Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan apabila ditemukan data
baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak terutang
sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak. Dengan demikian, penerbitan surat ketetapan pajak hanya
dilakukan terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil
pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.
1.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB)
SKPDKB adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi
dan jumlah yang masih harus dibayar.
SKPDKB diterbitkan
dalam hal terjadi keadaan sebagaimana di bawah ini:
a.
apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak daerah yang terutang
tidak atau kurang dibayar.
Contoh seorang wajib pajak menyampaikan SPTPD pada tahun
pajak 1998. Dalam jangka waktu paling lama lima tahun, berdasarkan hasil
pemeriksaan diketahui bahwa SPTD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak
terutang yang kurang bayar tersebut, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKB
ditambah dengan sanksi administrasi.
b.
apabila
SPTPD tidak disampaikan kepada kepala daerah dalam jangka waktu tertentu dan
telah ditegur secara tertulis. Contoh : seorang wajib pajak tidak menyampaikan
SPTPD pada tahun 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu wajib pajak
belum juga menyampaikan SPTPD, dalam jangka waktu paling lama lima tahun kepala
daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang.
c.
Apabila
kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara
jabatan. Yang dimaksud “kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi” dapat terjadi
karena dua kemungkinan yaitu SPTPD sama sekali tidak disampaikan atau SPTPD
disampaikan, tetapi tidak diisi dengan benar. Pengertian penetapan pajak secara
jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang dilakukan oleh kepala daerah
atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang
dimiliki oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.
Jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam SKPDKB yang
dikeluarkan karena wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD kepada kepala
daerah tepat waktu atau berdasarkan hasil pemeriksaan didapati bahwa pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau tidak atau terlambat
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutang
pajak. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak
sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
Jumlah pajak yang
terutang dalam SKPDKB yang dikeluarkan karena wajib pajak tidak memenuhi
kewajiban mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya sehingga pajak yang
terutang dihitung secara jabatan, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebsar 25 % dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2 % sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Dalam kasus
ini kepala daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui
penerbitan SKBKB. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 % dari
pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk
jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung
sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.
Contohnya
seorang wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD untuk masa pajak Januari tahun
2000. Setelah ditegur secara tertulis wajib pajak tersebut tidak juga memenuhi
kewajiban perpajakannya, Kepala Dinas Pendapatan Daerah melakukan penetapan
pajak yang terutang secara jabatan pada bulan April 2002. Berdasarkan penetapan
pajak secara jabatan dihitung bahwa pajak yang terutang adalah Rp 160.000.000,-
dan diketahui bahwa pembayaran pajak tahun 2000 yang telah dilakukan oleh wajib
pajak adalah Rp 100.000.000,-. Berdasarkan hal ini,
perhitungan SKPDKB adalah sebagai berikut:
o Pajak daerah berdasarkan penetapan secara jabatan Rp 160.000.000,-
o
Pembayaran pajak daerah tahun 2000 Rp
100.000.000,-
---------------------
-
o
Pajak kurang dibayar Rp 60.000.000,-
o Sanksi berupa kenaikan 25% x Rp 160.000.000,- Rp 40.000.000,-
---------------------+
o
Pajak kurang dibayar Rp
100.000.000,-
o Sanksi berupa bunga 2% x 16 x Rp 100.000.000,- Rp 32.000.000,-
---------------------
+
o Pajak yang harus dibayar Rp 132.000.000,-
2.
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
(SKPDKBT)
SKPDKBT adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan. SKPDKBT diterbitkan jika ditemukan data baru dan atau data yang
semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang
terutang. Contoh wajib pajak yang kepadanya telah diterbitkan SKPDKB dan dalam
jangka waktu paling lama lima tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data
baru dan atau data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKBT.
Jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam SKPDKBT dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Jika wajib pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar, yaitu dengan ditemukannya data
baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil
pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, wajib pajak dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi
kenaikan pajak tidak dikenakan apabila wajib pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan pajak oleh fiskus.
3)
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN)
SKPDN adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPDN
diterbitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Contoh
terhadap wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan kepala daerah ternyata
jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, kepala daerah dapat menerbitkan
SKPDN. Penerbitan SKPDN dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum bahwa pajak terutang yang dibayar dan
dilaporkan oleh wajib pajak telah sesuai ketentuan peraturan daerah tentang
pajak daerah dimaksud. SKPDN dikhususkan bagi wajib pajak
yang membayar pajak dengan sistem self
asssessment.
4)
Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD)
STPD
diterbitkan apabila :
a.
pajak
dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar.
b.
Dari
hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah
tulis dan atau salah hitung atau
c.
Wajib
pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
STPD diterbitkan
baik terhadap wajib pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri
maupun terhadap wajib pajak yang melaksanakan kewajiban pajak berdasarkan
penetapan oleh kepala daerah. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada
wajib pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang. Sementara itu, sanksi administrasi berupa denda
dikenakan karena tidak dipenuhinya
ketentuan formal, misalnya tidak atau terlambat menyampaikan SPTPD.
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam STPD karena poin a dan b di atas ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling
lama lima belas bulan sejak saat terutang pajak. SKPD yang tidak atau kurang
dibayar setelah jatuh tempo pembayaran sebesar 2% sebulan dan ditagih melalui
STPD.
1.10.
Nilai Jual Objek Pajak
Nilai jual objek
Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli,
Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obek lain
yang sejenis, dan atau perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.
Yang dimaksud dengan:
a.
Perbandingan harga
dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/ metedo penentun nilai
jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain
yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui
harga jualnya
b.
Nilai perolehan baru,
adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan
cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut
pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan
kondisi fisik objek tersebut
c.
Nilai jual pengganti
adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang
berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut
Besarnya
NJOP Ditentukan berdasarkan klasifikasi:
1.
Objek
Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan
2.
Objek Pajak Sektor
Perkebunan
3.
Objek Pajak Sektor
Kehutanan atas Hak Pengusaha Hutan, Hak Pengusahaan Hasil Hutan, Izin
Pemanfaatan Kayu Serta Izin Sah Lainnya Selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri
4.
Objek
Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
5.
Objek
Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
6.
Objek
Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi
7.
Objek
Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan
Galian C
8.
Objek
Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C
9.
Objek
Pajak Sektor Pertambangan yang dikelola berdasrkan Kontrak Karya atau Kontrak
Kerjasama
10.
Objek
Pajak Usaha bidang perikanan laut
11.
Objek
Pajak Usaha bidang perikanan darat
12. Objek
Pajak yang bersifat khusus
1.11.
Tarif Pajak Daerah
1.
Tarif Pajak Propinsi Maksimum
a)
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5%
b)
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas
Air 10%
c)
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5%
d)
Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20%
2.
Tarif
Pajak Kabupaten/Kota Maksimum
a)
Pajak
Hotel 10%
b)
Pajak
Restoran 10%
c)
Pajak
Hiburan 35%
d)
Pajak
Reklame 25
%
e)
Pajak
Penerangan Jalan 10%
f)
Pajak
Parkir 20%
g)
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20%
1.12. Cara
Menghitung Pajak Daerah
Contoh Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor :
BBN KB + PKB + SWDKLLJ + B.Administrasi
= Jumlah Yang Harus Dibayar
0 + 141.000 + 35.000 + 0 + 0 = 176.000
Jadi pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak kendaraan
bermotor merk Revo produksi 2009 sebesar Rp 176.000
Nb :
BBN KB : bea balik nama kendaraan
bermotor ( besarnya 10% dari harga motor/ harga faktur jika motor baru, 2/3
dari Pajak kendaraan bermotornya
PKB : pajak kendaraan bermotor sebesar
1,5% dari nilai jual motor dan bersifat menurun tiap tahunnya karena penyusutan
nilai jual motor.
SWDKLLJ : sumbangan wajib dana
kecelakaan lalu lintas jalan, yang nantinya akan dikelola oleh pihak jasa raharja.
Sumbangan tersebut senilai Rp 35.000
B. Administrasi : untuk motor baru tidak
dikenakan biaya administrasi. Apabila terjadi pergantian plat nomor (5tahun
sekali) atau balik nama akan dikenakan biaya administrasi. Biaya tersebut
sebesar Rp 30.000,-
1.13. Saat
dan Tata Cara Mengajukan Keberatan, Banding, dan Sanksi Pajak Daerah
Tata
Cara Keberatan Pajak Daerah
UU PDRD mengatur keberatan atas SKPD (surat keputusan
pajak daerah). Hanya dalam hal ini SKPD bisa diterbitkan tanpa pemeriksaan.
Sesuai UU PDRD (UU No. 28 tahun 2009) pasal 97, dalam jangka 5 tahun Kepala
Daerah dapat menerbitkan:
1.
SKPDKB
(pajak daerah kurang bayar) dalam hal:
a.
jika
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
b.
jika
SPTPD (Surat pemberitahuan pajak daerah) tidak disampaikan kepada Kepala Daerah
dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;
c.
jika
kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara
jabatan.
d.
SKPDKBT
(pajak daerah kurang bayar tambahan) jika ditemukan data baru dan/atau data
yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang
terutang.
2.
SKPDN
(pajak daerah nihil) jika jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Ada 2 cara yang bisa dilakukan WP:
1.
Mengajukan
keberatan ke Kepala daerah sesuai UU PDRD Pasal 103
a.
Sesuai
UU PDRD pasal 103, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan
Pajak (SKP) pajak daerah kepada Kepala Daerah atau paling lambat 3 bulan sejak
tanggal terbitnya SKP.
b.
Keberatan
dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang
telah disetujui Wajib Pajak (UU PDRD Pasal 103 ayat 4).
c.
Sama
seperti dalam UU KUP, Ada sanksi 50% atas pajak kurang bayar bila keberatan
ditolak (UUPDRD Pasal 106 ayat 3) dan 100% bila banding ditolak (UUPDRD Pasal
106 ayat 5). Terdapat pula penangguhan kwajiban pembayarn pajak seperti di KUP
yaitu 1 bulan sejak terbitnya putusan banding (UU PDRD pasal 105 ayat 3).
2.
Mengajukan
surat permohonan ke kepala daerah sesuai UU PDRD pasal 107. Yang peraturan
terkaitnya harus melihat lagi Perda masing-masing daerah.
1.14. Tata Cara Banding Pajak
Daerah
1.
Wajib Pajak mengajukan banding
hanya kepada BPSP atas keberatan yang diajukannya dalam jangka waktu 3 bulan
sejak tanggal keputusan ditetapkan.
2.
Permohonan banding diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
3.
Putusan BPSP bersifat final dan
tetap.
4.
Permohonan Banding tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
5.
Atas kelebihan pembayaran pajak
diberikan imbalan bunga 2 % per bulan selama-lamanya 24 bulan dalam hal
keberatan banding diterima sebagian atau seluruhnya.
1.15. Sanksi Pajak Daerah
1.
Sanksi Administrasi
a.
Penagihan Pajak Daerah
dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah kurang bayar dikenakan sanksi
2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar
untuk jangka waktu paling lama 24 bulan
dihitung sejak saat terutangnya pajak.
b.
Penagihan
pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah kurang bayar tambahan
dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pajakl. Sanksi administrasi ini tidak akan dikenakan apabila wajib
pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
c.
Penagihan
pajak dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah kurang bayar dengan
perhitungan secara jabatan dikenakan sanksi admenistrasi berupa kenaikan 25%
dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan dihitung
dari pajak yang kurang atau terlambt dibayar untuk jangka waktu paling lama 24
bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.
d.
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak Daerah karena pajak
tidak atau kurang dibayar atau karena adanya penelitian Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
setiap bulan untuk paling lama 15 bulan sejak saat terutang pajak.
e.
Surat
Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan, dan
ditagih melalui Surat Tagihan Pajak Daerah.
2. Sanksi Pidana
a.
Wajib Pajak yang karena
kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan pajak daerah atau mengisi
dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak
benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak 2 kali jumlah pajak yang
terutang.
b.
Wajib Pajak yang dengan
sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun dan atau denda paling banyak 4 kali jumlah pajak yang terutang.
2.
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan
atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB
adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan
subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
2.1.
Dasar Hukum
Dasar hukum Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) adalah undang-undang No. 12 tahun 1985 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 12 tahun 1994.
2.2.
Asas
Asas
Pajak Bumi dan Bangunan :
1.
Memberikan kemudahan
dan kesederhanaan
2.
Adanya kepastian hukum
3.
Mudah dimengerti dan
adil
4.
Menghindari pajak
berganda
2.3.
Dasar Pengenaan PBB
1.
Dasar
pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2.
Besarnya
NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Pajak
atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.
3.
Dasar
penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-tingginya 100% dari NJOP.
4.
Besarnya
Presentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi
ekonomi nasional.
2.4.
Subjek dan Objek PBB
Subjek
Pajak Bumi dan Bangunan
1.
Yang menjadi subjek
pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atsa bumi,
dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan
demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilik hak
2.
Subjek
pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi wajib pajak
3.
Dalam
hal atas suatu objek pajak belum jekas diketahui wajib pajaknya, Direktur
Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1
sebagai wajib pajak
Hal ini
berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek wajib
pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Untuk lebih
jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
a.
Subjek
pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan atau bangunan milik Y bukan
karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka
X yang memanfaatkan/ menggunakan bumi dan atau bangunan ditetapkan sebagai
wajib pajak
b.
Suatau
objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau
badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai
wajib
c.
Subjek
pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang
untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka
orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib
pajak.Penunjukan sebagai wajib pajak oleh Dirjen Pajak bukan merupakan bukti
pemilikan hak
4.
Subjek
pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak bahwa ia bukan wajib
pajak terhadap objek pajak dimaksud
5.
Bila
keterangan yang diajukan olehwajib pajak dalam no.4 disetujui, maka Direktur
Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam n0.3
dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya
surat keterangan dimaksud.
6.
Bila
keterangan yang diajukan itu tidakdisetujui, maka DirekturJendral Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alas an-alasannya
7.
Apabila
setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggalditerimanya keterangan sebagaimana
dalam no.4 Direktur Jendral Pajaktidak memberikan keputusan,maka keterangan
yang diajukan itu dianggap disetujui
Apabila Direktur Jendral pajak tidak memberikan
keputusann dalam waktu 1(satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari
wajib pajak,maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan
berhakmendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak
Objek
Pajak Bumi dan Bangunan
1.
Yang
menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.
2.
Yang
dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
Dalam menentukan
klasifikasi bumi/tanah diperhatikan factor-faktor sebagai berikut:
a.
Letak.
b.
Peruntukan.
c.
Pemanfaatan.
d.
Kondisi
lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan
factor-faktor sebagai berikut:
a.
Bahan yang digunakan.
b.
Rekayasa.
c.
Letak.
d.
Kondisi
lingkungan dan lain-lain.
3.
Pengecualian Objek
Pajak
Objek
pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:
a.
Digunakan
semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan
,antara lain:
1)
Di bidang
ibadah,contih: masjid,gereja,vihara.
2)
Di
bidang kesehatan, contoh: rumah sakit.
3)
Di
bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren.
4)
Di bidang sosial,
contoh: panti asuhan.
5)
Di bidang kebudayaan
nasional, contoh: museum, candi.
b.
Digunakan
untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
c.
Merupakan
hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak.
d.
Digunakan
oleh perwakilan diplomatic, konsultan berdasarkan asas perlakuan timbale balik.
e.
Digunakan
oleh badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
Catatan:
Yang dimaksud
dengan tidak dimaksudkan untuk meemperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak
itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditujukan
untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/ badan yang bergerak dalam bidang
ibadah,sosial, kesehatan,pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk
pengertian ini adalah hutan wisata milik Negara sesuai pasal 2 Undang-Undang
no.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
4.
Objek
pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan
pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang
dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bnagunan adalah pajak negara yang
sebagaian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain
dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar Pemerintah pusat juga ikut
membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan.
Mengenai bumi dan atau bangunan milik perseorangan dan
tau bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajaknnya tergantung pad
perjanjian yang diadakan.
a.
Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) DItetapkan untuk
masing-masing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00(dua belas juta rupiah) untuk
setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa Objek Pajak
yang diberikan NJOPTKP hanya salah
satu objek pajak yng nilainya terbesar,
sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi
NJOPTKP Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri
Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota(pemerintah
Daerah )setempat Untuk lebih jelasnya diberikan contoh berikut ini:
b.
Seorang
wajib pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai Rp 4.000.000,00 dan
besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp 6.000.000,00.
Karena NJOP berada di bawah batas NJOPTKP (Rp 6.000.000,00),maka objek pajak
tersebut tidak dikenakan pajak Bumi dan Bangunan.
c.
Seorang
wajib pajak mempunyai Objek pajak berupa bumi dan bangunan di desa A dan Desa B
dengan nilai sebagai berikut:
Desa
A :
NJOP
Bumi Rp
13.000.000,00
NJOP
Bangunan 9.000.000,00
Desa
B:
NJOP
Bumi Rp
8.000.000,00
NJOP
Bangunan 10.000.000,00
Dan
NJOPTKP untuk objeek pajak wilayah tersebut adalah Rp 10.000.000,00
Dengan data tersebut di atas ,maka NJOP untuk perhitungan
PBB-nya sebagai berikut:
Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa
tersebut yang mempunyai nilai paling besar, yaitu desa A. maka NJOP untuk
perhitungan PBB adalah:
NJOP
Bumi Rp
13.000.000,00
NJOP
Bangunan 9.000.000,00
NJOP sebagai dasra pengenaan PBB Rp 22.000.000,00
NJOPTKP 10.000.000,00
Kemudian untuk desa B:
NJOP untuk perhitungan PBB:
NJOP Bumi Rp
8.000.000,00
NJOP Bangunan Rp
10.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenan PBB Rp
18.000.000,00
NJOPTKP 0.00
NJOP untuk Perhitungan PBB Rp 18.000.000,00
2.5.
Surat-Surat yang Dibutuhkan
Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat
Ketetapan Pajak (SKP)
1.
Dalam
rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi
SPOP.
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akan diberikan SPOP untuk diisi dan dikembalikan kepada
Direktorat Jendral Pajak. Wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib
mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia menerima SPOP, maka dia wajib
mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat Jendral Pajak
2.
SPOP
harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek
pajak selambat-lambatnya 30(tiga puluh)hari setelah tanggal diterimanya SPOP
oleh subjek pajak
Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah:
Jelas dimaksudkan agar
penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun wajib pajak
sendiri.
Benar,berarti data yang
dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti luas tanahdan
atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai dengan
kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
3.
Dirjen
pajak akan menerbitkan SPPT Berdasarkan
SPOP yang diterimanya.
SPPT diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu
wajib pajak SPPT dapat diterbitkan berdasrkan data objek pajak yang telah ada
pada Direktorat Jendral Pajak
4.
Dorektorat
Jendral Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai
berikut:
a.
Apabila
SPOP tidak disampaikan dan setelah
ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b.
Apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
etrutang (seharusnya)lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasrkan
SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.
Wajib pajak
yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur secara
tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat
Teguran itu, Direktur Jendra Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak(SKP)
secara jabatan.
Apabila
berdasrkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada pada Direktorat Jendral
Pajak ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak dalam
SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan wajib pajak, Direktur
Jendral Pajak menerbitkan SKP secara jabatan
5.
Jumlah
pajak yang terutang dalam SKP sebagimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a adalah
pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok
pajak.
Sanksi
administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP,
dikenakan sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% dari
pokok pajak.
SKP ini
berdasrkan data yang ada pada Direktorat Jendral Pajak memuat penetapan objek
pajak dan besarnya pajak yang terutangbeserta denda administrasi yang dikenakan
kepada wajib pajak.
2.6.
Mekanisme Pembayaran dan Alur Penagihan PBB
Mekanisme
Pembayaran dan Penagihan PBB
1.
Pajak
yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya
6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
(SPPT) oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SPPT diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret
2011, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Agustus 2011.
2.
Pajak
yang terhutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh wajib pajak.
Contoh :
Apabila SKP diterima oleh wajib pajak tanggal 1 Maret
2011, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret 2011.
3.
Pajak
yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang
dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Menurut ketentuan
ini pajak yang terhutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah
yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
SPPT tahun pajak 2011 diterima oleh wajib pajak pada
tanggal 1 Maret 2011 dengan pajak terhutang sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu
rupiah). Oleh wajib pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 2011. Maka
terhadap wajib pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua
persen) yakni:
2% x Rp
100.000,00 = Rp 2.000,00.
Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1
September 2011adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 100.000,00 + Rp 2.000,00 =Rp102.000,00
Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknya
pada tanggal 10 Oktober 2011, maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan
denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni
4% x Rp
100.000,00 = Rp 4.000,00
Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10
Oktober 2011 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 100.000,00 + Rp 4.000,00 =Rp104.000,00
4.
Denda
administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat no. 3, ditambah dengan hutang
pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP)
yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya
Surat Tagihan Pajak (STP) oleh wajib pajak.
Menurut ketentuan
ini denda administrasi dan pokok pajak seperti tersebut pada contoh penjelasan
no. 3, ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi
dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
5.
Pajak
yang terhutang dibayar diBank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6.
Tata
Cara pembayaran danpenagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4),dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.
7.
Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP), dan Surat
Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
8.
Jumlah
pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP) yang tidak dibayar
pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terhutang dibayar setelah
jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa
yang saat ini berdasarkan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1959 tentang
Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa.
2.7.
Tarif Saat Terutang PBB
(
Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU
No.12 Tahun 1994 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah
sebesar 0,5 % (lima persepuluh persen).
Saat PBB Terutang
Saat yang menentukan pajak
bumi dan bangunan terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1
Januari dan mendapat SPPT PBB
Contoh
:
a. Objek pajak pada tanggal 1 januari 2010 berupa
tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2010 bangunannya terbakar, maka
pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1
januari 2010, yaitu keadaan ebelum bangunan tersebut terbakar
b. Objek pada tanggal 1 januari 2010 berupa
sebidang tanah tanpa bangunan diatasnya.
Pada tanggal 20 Agustus 2010 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah
tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun
2010 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2010. Sedangkan
bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2011.
Tempat PBB Terutang
·
Untuk daerah
Jakarta, PBB terutang di wilayah DKI Jakarta;
·
Untuk daerah
lainnya, PBB terutang di wilayah Kabupaten Dati II atau Kotamadya Dati II; yang
meliputi letak objek pajak
2.8.
Cara Menghitung PBB
Misal Amir memiliki tanah dan bangunan dengan
rincian sbb :
Luas tanah : 500
M2; nilai tanah : Rp90.000.000,-
Luas bangunan :
150 M2; nilai bangunan : Rp37.500.000,
Hitung besarnya PBB atas tanah dan bangunan
pak Amir tersebut apabila NJOPTKP
sebesar Rp10.000.000,-
Jawab :
Nilai tanah per M2 = 90.000.000 / 500 =
Rp180.000,-
NJOP = Rp200.000,- / M2
Nilai bangunan per M2 = 37.500.000 / 150 = Rp250.000,-
NJOP = Rp225.000,- / M2
NJOP Tanah : 500 x Rp200.000,- = Rp100.000.000,-
NJOP
bangunan : 150 x Rp225.000,- = Rp 33.750.000,-
NJOP
tanah dan bangunan = Rp133.750.000,-
NJOPTKP = Rp 10.000.000,-
NJOP
untuk perhitungan PBB = Rp123.750.000,-
PBB
= 0,5% x 20% x Rp123.750.000,- =
Rp123.750,-
2.8.Saat dan Tata Cara Mengajukan
Keberatan, Banding, dan Sanksi
Sebab-sebab Pengajuan Keberatan
1. Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terhutang pada
SPPT atau SKP yang diterimanya dari Kantor Pelayanan PBB tidak sesuai dengan
keadaan obyek pajak yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ada beberapa
kesalahan seperti :
a. Kesalahan pada luas obyek pajak bumi dan bangunan;
b. Kesalahan klasifikasi obyek pajak bumi dan bangunan;
c. Kesalahan pada penetapan/pengenaan pajak terhutang.
2. Terdapat beda persepsi mengenai peraturan
perundang-undangan pajak (PBB) antara Wajib Pajak dengan aparat pajak.
2.9.Tata Cara Pengajuan Keberatan
1. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak cq. Kepala Kantor Pelayanan PBB setempat, manakala besarnya
pajak terhutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP yang diterima dirasakan
tidak sesuai dengan keadaan obyek yang sebenarnya.
2. Pengajuan keberatan harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut :
a. Surat pengajuan keberatan dibuat secara tertulis dalam
bahasa Indonesia disertai dengan alasan-alasan yang jelas.
b. Surat pengajuan keberatan harus dilampiri bukti-bukti
resmi.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP, kecuali karena kondisi
force majeure.
d. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak.
e. Keberatan atas besarnya pajak terhutang pada SPPT atau
SKP harus diajukan untuk tiap-tiap obyek pajak dengan surat kebertan tersendiri
pada tiap tahun pajak.
3. Ketika mengajukan surat keberatan, Wajib Pajak harus
bisa menunjukkan bukti-bukti untuk memperkuat alasan atas keberatannya. Bukti-bukti
tersebut antara lain:
a. Fotokopi KTP, Kartu Keluarga, atau identitas Wajib
Pajak lainnya;
b. Bukti kepemilikan hak atas tanah/sertifikat;
c. Surat pengukuran tanah atau gambar rincian dari tanah
yang dimaksud;
d. Akte jual beli atau segel (akte jual beli di bawah
tangan);
e. Girik/petuk D (SPPT, SKP, SKIP-IPEDA);
f. Surat Penunjukan Kaveling;
g. Ijin mendirikan Bangunan (IMB);
h. Surat keterangan Lurah/Kepala Desa
i.
Fotokopi bukti pelunasan PBB tahun sebelumnya
j.
Bukti resmi lainnya.
4. Setelah surat keberatan itu diajukan, Wajib Pajak akan
diberi tanda bukti penerimaan.
2.10.
Mekanisme Proses Penyelesaian Keberatan
1.
Setelah diterimanya surat
keberatan tersebut, Kantor Pelayanan PBB akan melakukan penelitian mengenai
kebenaran persyaratan yang diberikan/ditunjukkan dalam surat keberatan.
2.
Penelitian atas kebenaran
bukti-bukti/persyaratan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak tersebut akan
menentukan bisa diproses atau tidaknya surat keberatan tersebut.
3.
Untuk memperoleh kejelasan
mengenai surat pengajuan keberatan, bila dipandang perlu Kantor Pelayanan PBB
akan/dapat melakukan peninjauan langsung atas obyek pajaknya di lapangan.
Sebelum dilakukan peninjauan di tempat obyek pajak, terlebih dahulu dikirimkan
surat pemberitahuan kepada wajib pajak/pemohon mengenai akan adanya peninjauan
tersebut.
4.
Keputusan atas permohonan
keberatan wajib pajak dapat berupa diterima seluruhnya, diterima sebagian, atau
ditolak.
5.
Kantor Pelayanan PBB sebagai pihak
yang menerima pengajuan surat keberatan akan memproses penyelesaian keberatan
tersebut dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya
surat keberatan.
6.
Apabila dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan tersebut lewat dan Kepala Kantor Pelayanan PBB belum juga atau
tidak memberikan keputusan keberatan, maka pengajuan keberatan wajib pajak itu
dianggap diterima. Kemudian wajib pajak berkewajiban membayar pajak terhutang
menurut ketentuan data/bukti-bukti yang sebenarnya, seperti yang ditunjukkan
dalam surat pengajuan keberatan.
2.11.
Tata
Cara Banding PBB
1. Wajib Pajak dapat mengajukan permasalahan keberatannya
ke tingkat banding, yaitu ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) di
Jakarta.
2. Banding tersebut dapat dilakukan dalam hal pengajuan
keberatannya ditolak oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB mengenai besarnya pajak
terhutang pada SPPT dan atau SKP, karena data obyek tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya atau karena adanya perbedaan penafsiran peraturan-perundangan
antara wajib pajak dengan aparat pajak.
3. Pengajuan banding dapat juga diajukan karena subyek
pajak tidak bersedia menjadi wajib pajak atas penunjukan Direktur Jenderal
Pajak, meskipun subyek pajak sudah memberikan keterangan, namun keterangan itu
tetap ditolak oleh Jenderal Pajak.
4. Pengajuan banding oleh wajib pajak di alamatkan
langsung kepada Ketua BPSP Pajak di Jakarta.
5.
Keputusan
banding yang diberikan Majelis Pertimbangan Pajak berlaku mengikat serta
mempunyai kepastian dan kekuatan hukum baik terhadap Direktorat Jenderal Pajak
maupun terhadap wajib pajak.
2.12.
Sanksi
PBB
1. Sanksi Administrasi
a. Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak walaupun sudah ditegor secara tertulis, dikenakan
denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak.
b. Wajib Pajak yang melaporkan data obyek pajak tidak
benar (lebih kecil dari hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak), dikenakan
denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terhutang.
c. Pajak terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran
tidak atau kurang dibayar, akan dikenakan denda administrasi sebesar 2%
sebulan, dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk
jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
2. Sanksi Pidana
a. Wajib pajak yang tidak mengembalikan SPOP atau mengembalikan
SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan
keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugian negara, maka akan
dikenakan sanksi administrasi dan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan
atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terhutang;
b. Wajib pajak yang dengan sengaja :
1) tidak mengembalikan atau menyampaikan kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
2) menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
3) memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau
dokumen dipalsukan seolah-olah benar;
4) tidak memperlihatkan data atau tidak meminjamkan surat
atau dokumen lainnya;
5) tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan
keterangan yang diperlukan; sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, akan
dikenakan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda
setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang.
c. Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua, apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana
penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
1.
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1.1.
Dasar Hukum
Dasar
Hukum Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan adalah :
1.
Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2000 tentang Bea Peolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.Undang-Undang ini
menggantikan Ordonansi Bea Balik Nama Staadsblad 1924 Nomor 291
2.
Peraturan
Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan hibah.
3.
Peraturan
Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena pemberian Hak
Pengelolaan.
4.
Peraturan
Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.
Pengertian-Pengertian
1.
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dalam pembahasan ini, BPHTB
selanjutnya disebut pajak.
2.
Perolehanhak
atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi
atau badan.
3.
Hak
atas tanah dan atau bangunan, adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku lainnya.
3.2.
Dasar Pengenaan BPHTB
Yang menjadi dasra pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP).
NPOP ditentukan sebesar :
1.
Harga
transaksi, dalam hal : jual beli.
2.
Nilai
pasar objek pajak dalam hal : tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris,
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisah hak yang
mengakibatkan peralihan hak, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan
hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah.
3.
Harga
transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, dalam hal : penunjukan pembeli
dalam lelang.
4.
NJOP
PBB, apabila besarnya NPOP sebagaimana dimaksud dalam poin 1 dan 2 tidak
diketahui atau NPOP lebih rendah daripada NJOP PBB.
3.3.
Subjek dan Objek BPHTB
Subjek BPHTB
Yang
menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak
menjadi Wajib Pajak BPHTB menurut Undang-Undang BPHTB.
Objek BPHTB
Objek
BPHTB adalah perolehan ha katas tanah dan atau bangunan. Perolehan ha katas
tanah dan atau bangunan meliputi:
1.
Pemindahan hak karena:
a.
Jual-Beli;
b.
Tukar-menukar;
c.
Hibah;
d.
Hibah Wasiat;
e.
Waris;
f.
Pemasukan
dalamperseroan atau badan hukum lainnya;
g.
Pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan;
h.
Penunjukan
pembelian dalam lelang;
i.
Pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai ekuatan hokum tetap;
j.
Penggabungan
usaha;
k.
Peleburan
Usaha;
l.
Pemekaran
usaha;
m.
Hadiah
2.
Pemberian
hak baru karena:
a.
Kelanjutan
pelepasan hak;
b.
Di
luar pelepasan hak
Tidak Termasuk
Objek Pajak
Objek pajak
yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
1.
Perwakilan
Diplomatik, konsultan berdasarkan asas berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
2.
Negara
untuk penyelenggaraaan pemerintahan dan atau pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum;
3.
Badan
atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di
luar fungsi dan tugas badan usaha atau perwakilan organisasi tersebut;
4.
Orang
pribadi atau badan karena konversi hak atau karena pembuatan hokum lain dengan
tidak adanya perubahan nama;
5.
Orang
pribadi atau badan karena wakaf;
6.
Orang
pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan Ibadah
1.2.
Surat-Surat yang Dibutuhkan
Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB)
SKBKB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya
jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
Penerbitan
SKBKB
SKBKB diterbitkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
SKBKB dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dalam
jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak
Sanksi SKBKB
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi admnistrasi
berupa bunga sebesar 2% sebulan
(maksimal 24 bulan) dihitung mulai saat terutangnya pajak samapi dengan
diterbitkannya SKBKB.
Contoh:
Tuan Adi memperoleh
tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten Sukamaju pada tanggal 29 Maret
2010 dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 240.000.000,00. Nilai Perolehan
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedrah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten Sukamaju sebesar Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek
Pajak Rp
240.000.000,00
Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp
180.000.000,00
BPHTB yang terutang= Rp 180.000.000,00 x 5%
= Rp
9.000.000,00
Berdasarkan
hasil pemeriksaan ,ternyata ditemukan data yang belum lengkap yang menunjukkan
bahwa Nilai Peolehan Pajak Sebenarnya adalah Rp 310.000.000,00. Oleh karena itu
diterbitkan SKBKB pada tanggal 30 Desember 2010. Besarnya BPHTB yang terutang
adalah sebagai berikut:
Nilai
Perolehan Objek Pajak Rp
310.000.000,00
Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp
250.000.000,00
BPHTB
yang seharusnya terutang = Rp 250.000.000,00 x 5%
= Rp 12.500.000,00
BPHTB
yang telah dibayar
9.000.000,00
BPHTB
yang kurang dibayar Rp 35.000.000,00
Sanksi
administrasi berupa bunga dari 29 Maret 2010 sampai dengan 30 Desember 2010= 10
bulan x 2% X Rp 3.500.000,00 = Rp
700.000,00
Jadi
jumlah yang harus dibayar menurut SKBKB=
Rp 3.500.000,00 + Rp
700.000,00 = Rp 4.200.000,00
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT
SKBKBT
adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan
Penerbitan SKBKBT
SKBKBT
diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang seteklah
diterbitkannya SKBKB.
SKBKBT dapat diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak
dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutang pajak.
Sanksi SKBKBT
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100%(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak
tersebut.
Contoh(Berdasarkan
data pada contoh sebelumnya)
Pada tahun 2010, dari hasil pmeriksaan atau
keterangan lain diperoleh data baru Nilai Perolehan Objek Pajak ternyata adalah
Rp 360.000.000,00, maka BPHTB yang terutang adalah sebagai berikut:
Nilai
Perolehan Objek Pajak Rp
360.000.000,00
Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 60.000.000,00
Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp
300.000.000,00
BPHTB
yang seharusnya terutang = Rp 300.000.000,00 X 5%
= Rp 15.000.000,00
BPHTB
yang telah dibayar 12.500.000,00
BPHTB
yang kurang bayar 2.500.000,00
Sanksi
administrasi kenaikan= 100% X Rp 2.500.000,00 = Rp 2.500.000,00 Jadi jumlah
yang harus dibayar menurut SKBKBT=
Rp 2.500.000,00 + Rp
2.500.000,00 = Rp 5.000.000,00
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan (STB)
STB adalah surat melakukan tagihan pajak dan atau sanksi
administrasi berupa bunga dan atau denda
Penerbitan SBT
STB diterbitkan apabila:
a.
Pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar
b.
Dari
hasil pemeriksaan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB)
terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah
hitung.
c.
Wajib
Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda
Sanksi STB
Jumlah
pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana
dimaksud dalam poin 2a dan 2b ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar
2%(dua persen)sebulan untuk jangka waktu paling lama 24(dua puluh empat) bulan
sejak saat terutangnya pajak. Sedangkan
untuk poin 2c tidak ditambahkan sanksi karena tidak ada sanksi atas sanksi.
Kekuatan Hukum STB
STB mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak, sehingga penagihannya
dapat dilanjutkan dengan Surat Paksa
1.3.
Mekanisme Pembayaran dan Alur Penagihan
Mekanisme
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan :
1.
Pada
saat terjadi perolehan hak karena pemindahan hak atau pemberian hak. Maka wajib
pajak (WP) wajib membayar BPHTB (apabila memenuhi syarat untuk dikenakan BPHTB)
2.
Wajib
pajak meminta formulir Surat Setoran BPHTB (SSB) yang dapat diperoleh di kantor
Notaris, KPP Pratama, Kantor Lelang, Kantor Pertanahan, atau tempat pembayaran
BPHTB
3.
Setelah
Surat Setoran BPHTB (SSB) diisi, maka wajib pajak menyetorkan BPHTBnya melalui
Bank persepsi (tempat pembayaran BPHTB, antara lain: BNI, BRI, Mandiri dan bank
lain yang melayani pembayaran BPHTB). Selain itu juga
dapat langsung disetorkan ke Bank Operasional
4.
Setelah
SSB divalidasi Bank tempat pembayaran, maka SSB lembar ke 1, 3 dan 5 diberikan
kepada wajib pajak. SSB lembar ke 4 diarsipkan ke Bank tersebut, SSB lembar ke
2 disampaikan kepada KPP Pratama disertai Bukti Penerimaan Negara (BPN) melalui
Bank Operasional
Mekanisme Pelaporan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan :
1.
Setelah
SSB lembar ke 1, 3 dan 5 mendapat validasi dari Bank pembayaran maka wajib
pajak datang ke Notaris untuk meminta legalisasi berupa stempel dan tanda
tangan Notaris. SSB lembar 5 menjadi arsip Notaris
2.
Wajib pajak melaporkan
pembayaran BPHTB kepada KPP Pratama setelah mendapat legalisasi dari Notaris
dengan menyerahkan SSB lembar ke 1, 3 dan copy lembar ke 5
3.
Bank persepsi
melimpahkan penerimaan pembayaran BPHTB kepada Bank Operasional SSB lembar ke
2.
4.
KPP Pratama akan :
a.
Mengeccek penerimaan
pembayaran BPHTB melalui akses Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) yang tertera pada SSB dengan
akses secara online
b.
Meneliti
kebenaran data SSB (nilai NPOP, NPOPTKP, perhitungan matematis, dsb)
c.
Setelah
diteliti dan data yang dilaporkan adalah benar, maka KPP Pratama akan
memberikan validasi
5.
SSB
lembar ke 1 dan copy lembar ke 5 dikembalikan kepada wajib pajak, sedangkan SSB
lembar ke 3 diarsip oleh KPP Pratama beserta SSB lembar ke 2 yang diterima dari
Bank Operasional
1.4.
Mekanisme Pembayaran dan Alur Penagihan BPHTB
Mekanisme Penagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan :
Apabila
:
1.
Pajak terutang
tidak/kurang dibayar
2.
Dari pemeriksaan, SSB
kurang bayar
3.
WP
kena Sanksi administrasi berupa denda/bunga
DJP menerbitkan Surat Tagihan BPHBT (STB) ditambah sanksi
Bunga 2%/bln maksimum 24 bulan
Dasar
Penagihan BPHTB :
SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan, SK Pengurangan, SK
Keberatan, Putusan Banding yg menyebabkan pajak bertambah à Harus dilunasi dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterima
WP, lewat waktu dapat ditagih dengan Surat Paksa
3.7. Tarif
dan Saat Terutangnya BPHTB
Tarif
BPHTB adalah 5% (lima persen).
Saat
terutang BPHTB
a.
jual beli adalah sejak
tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya
akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris;
b.
tukar-menukar
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c.
hibah
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d.
waris
adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan;
e.
pemasukan
dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
f.
pemisahan
hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
g.
lelang
adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor
lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memuat antara lain nama pemenang lelang.
h.
putusan
hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap;
i.
hibah
wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
Kantor Pertanahan;
j.
pemberian
hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k.
pemberian
hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
l.
penggabungan
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
m.
peleburan
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
n.
pemekaran
usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
o.
hadiah
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
Tempat Terutang BPHTB
Tempat BPHTB terutang adalah wilayah
Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
3.8.
Cara Menghitung BPHTB
Contoh:
Tuan Hasan membeli tanah dan bangunan dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Rp 70.000.000,00. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak yang berlaku di Kabupaten/Kota tersebut Rp 60.000.000,00.
Penyelesaian:
Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 70.000.000,00
dikurangi,
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 10.000.000,00
Jadi, BPHTB yang terutang = Rp 10.000.000,00 x 5 %
=
Rp 500.000,00
3.9.
Saat dan Tata Cara Mengajukan Keberatan, Banding, dan
Sanksi
Tata
Cara Keberatan BPHTB
1.
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas :
SKBKB, SKBKBT, SKBLB dan SKBN.
2.
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terhutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan -alasan yang jelas.
3.
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak tanggal diterimanya surat ketetapan, kecuall apabila Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaannya.
4.
Keberatan yang tidak memenuhi syarat tidak dianggap sebagai Surat Keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
5.
Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan
melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut
bagi kepentingan Wajib Pajak.
6.
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan Pajak.
7.
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak.
8.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan
yang diajukan.
9.
Sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis.
10.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang
terhutang .
11.
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dimuka telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.
3.10. Tata Cara Banding BPHTB
1.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan
peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh
Dirjen Pajak.
2.
Permohonan Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak
keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
3.
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
3.11. Sanksi
BPHTB
Apabila WP
diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu
maksimal 24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB.
Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika
ditemukan data baru atau data yang sebelumnya tidak terungkap yang
mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang setelah SKBKB terbit, maka
dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari kekurangan pajak
tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan pemeriksaan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa pajak daerah, PBB, BPHTB merupakan
pajak yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan sepatutnya dipatuhi oleh
seluruh warga Indonesia. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan
Daerah. Berdasarkan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
terdapat 5 (lima) jenis pajak provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak
kabupaten/kota.
Selain
itu pemerintah
juga menciptakan sistem perpajakan yang baru yaitu dengan lahirnya
Undang-Undang perpajakn baru, yang salah satunya adalah UU tentang PBB dan UU
mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sesuai dengan pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah
sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping
memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat
investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi
manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh
hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang
diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan
atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang
bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan
objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar)
tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar